"Teh, tolong pesan ke suaminya, kalau memang mau ngerjain bikin lemari sepatunya besok, segera kerjain. Kalau nggak saya cari tukang lain", Kata saya pada Teh Nenih, asisten rumah tangga di rumah.
Teh Nenih sering curhat pada ibu mertua saya (oh ya, bagi yang belum tahu, ibu mertua sudah empat tahun ini ikut bareng kami). Dia mengeluhkan hidupnya yang "susah" sepulang dia dari Hongkong.
Tiga tahun lalu Teh Nenih memutuskan pulang ke kampung Paku, belakang kavlingan saya, dan tidak lagi mengambil kontrak setelah 12 tahun jadi TKW di Hongkong.
"Gaji yang saya kirim ke suami nggak jadi barang pak. Habis dia pakai untuk nongkrong sama teman-temannya", katanya. Lalu dengan sisa gaji yang dipegangnya, dia mulai membuka warung kelontong di rumahnya. Warung itu berakhir bangkrut, klasik, karena tidak jelas pencatatan modal dan untung. Nyampur-nyampur. Ditambah suaminya suami ambil rokok seenaknya tanpa bayar.
Suami Teh Nenih sebenarnya punya keahlian bertukang kayu. Rak buku saya dia yang bikin. Tapi rupanya, azas "zona nyaman" tak hanya dialami orang banyak duit, orang tak banyak duit juga bisa terbuai zona nyaman.
"Pokoknya asal ada duit buat rokok dan makan hari itu, dia nggak mau kerja lagi", Kata Teh Nenih pada mertua saya. Saya nguping dari ruang kerja.
Seminggu lalu, Teh Nenih mau pinjam duit pada mertua. Saya dan istri keberatan ngasih, karena hutangnya sudah banyak.
"Daripada ngutang lagi, minta suamimu kerja bikin rak sepatu di belakang",kata saya padanya. Dia senang dengan solusi itu, karena dengan -setidaknya-seminggu bekerja, suaminya bisa mengantongi Rp 1.5 jutaan. Kata Teh nenih, suaminya mau.
Tapi, hingga tadi siang, saya mau berangkat dan itu sudah selang seminggu, suami Teh Nenih belum juga nongol.
"Katanya lagi nggak mood kerja pak", Jawab Teh Nenih saat kami tanya.
Cerita seperti Teh Nenih dan suaminya sebenarnya bukan hal baru. Cerita di mana istri yang kerja keras bagai kuda, dan suami menikmati zona nyaman tak ngapa-ngapain.
Kerjaannya mondar-mandir, ngopi sana-sini. Kayak keren tapi... Begitulah. Diajak kerja, ditawari peluang gayanya super sibuk kayak eksekutif tua. Pas dompet kosong, minta duit ke istri.
Suami-suami model begini memang "menang banyak". Mungkin mereka tahu, bahwa harta yang dihasilkan istrinya dari kerja keras itu akan menjadi harta bersama.
Bila istrinya kelak meninggal duluan, secara perdata, dia akan dapat separo plus pembagian rata jatahnya dengan anak-anak.
Malu seharusnya, maka saya sebut laki-laki seperti ini sebagai suami menang banyak.
Teh Nenih sering curhat pada ibu mertua saya (oh ya, bagi yang belum tahu, ibu mertua sudah empat tahun ini ikut bareng kami). Dia mengeluhkan hidupnya yang "susah" sepulang dia dari Hongkong.
Tiga tahun lalu Teh Nenih memutuskan pulang ke kampung Paku, belakang kavlingan saya, dan tidak lagi mengambil kontrak setelah 12 tahun jadi TKW di Hongkong.
"Gaji yang saya kirim ke suami nggak jadi barang pak. Habis dia pakai untuk nongkrong sama teman-temannya", katanya. Lalu dengan sisa gaji yang dipegangnya, dia mulai membuka warung kelontong di rumahnya. Warung itu berakhir bangkrut, klasik, karena tidak jelas pencatatan modal dan untung. Nyampur-nyampur. Ditambah suaminya suami ambil rokok seenaknya tanpa bayar.
Suami Teh Nenih sebenarnya punya keahlian bertukang kayu. Rak buku saya dia yang bikin. Tapi rupanya, azas "zona nyaman" tak hanya dialami orang banyak duit, orang tak banyak duit juga bisa terbuai zona nyaman.
"Pokoknya asal ada duit buat rokok dan makan hari itu, dia nggak mau kerja lagi", Kata Teh Nenih pada mertua saya. Saya nguping dari ruang kerja.
Seminggu lalu, Teh Nenih mau pinjam duit pada mertua. Saya dan istri keberatan ngasih, karena hutangnya sudah banyak.
"Daripada ngutang lagi, minta suamimu kerja bikin rak sepatu di belakang",kata saya padanya. Dia senang dengan solusi itu, karena dengan -setidaknya-seminggu bekerja, suaminya bisa mengantongi Rp 1.5 jutaan. Kata Teh nenih, suaminya mau.
Tapi, hingga tadi siang, saya mau berangkat dan itu sudah selang seminggu, suami Teh Nenih belum juga nongol.
"Katanya lagi nggak mood kerja pak", Jawab Teh Nenih saat kami tanya.
Cerita seperti Teh Nenih dan suaminya sebenarnya bukan hal baru. Cerita di mana istri yang kerja keras bagai kuda, dan suami menikmati zona nyaman tak ngapa-ngapain.
Kerjaannya mondar-mandir, ngopi sana-sini. Kayak keren tapi... Begitulah. Diajak kerja, ditawari peluang gayanya super sibuk kayak eksekutif tua. Pas dompet kosong, minta duit ke istri.
Suami-suami model begini memang "menang banyak". Mungkin mereka tahu, bahwa harta yang dihasilkan istrinya dari kerja keras itu akan menjadi harta bersama.
Bila istrinya kelak meninggal duluan, secara perdata, dia akan dapat separo plus pembagian rata jatahnya dengan anak-anak.
Malu seharusnya, maka saya sebut laki-laki seperti ini sebagai suami menang banyak.
Comments
Post a Comment