Saya adalah salah satu penikmat berita-berita soal selebritis. Menikmati dari sudut pandang bidang yang saya kuasai : perencanaan waris dan perencanaan asset.
Ada selebritis yang cerai kemudian nikah lagi, cerai nikah lagi jual asset lama beli asset baru, cerai lalu bagi-bagi harta tapi hartanya masih di bank hingga yang melakukan perjanjian pra nikah.
Tapi, khusus soal berita kematian satu selebritis ini, Ashraf -suami BCL- saya mencoba melihatnya dari sisi yang berbeda.
Saya membaca, mengikuti tayangan streaming serta melihat BCL dan Noah -anaknya- kelihatan sangat berduka, namun tegar tak menangis saat almarhum masuk dalam liang lahat di pemakaman San Diego Hills. Padahal tak sampai 24 jam sebelumnya, BCL masih bertemu dengan suaminya, menyanyi dan tertawa sebagai juri di Acara Idol.
Tahun 2006, saya 'kehilangan' Bapak saya. Saya ingat saat itu hari minggu, saya sedang mancing di depok bersama teman-teman Seputar Indonesia. Kami tertawa-tawa gembira, sebagaimana umumnya orang yang kumpul dengan teman-teman. Sampai kemudian ada telepon dari Ibu mengabarkan", Bapak sakit. Kalau bisa pulang".
Saya bergegas mengabari adik-adik, bersiap dan kami konvoi tiga mobil pulang ke Semarang siang itu juga. Sampai di Cirebon, saya mendapat kabar Bapak sudah tiada. Istribsaya menangis, saya tidak. Tidak bisa tangisan itu keluar bahkan sampai saya ikut menurunkan Bapak di liang lahat.
Tapi kesedihan itu datang bertubi-tubi setidaknya sebulan hingga dua bulan kemudian. Bahkan kadang dipicu oleh sebab yang sederhana : melihat orang menenteng kamera, karena dulu almarhum Bapak hobi fotografi. Saya bisa tiba-tiba pengen nangis ingat Bapak.
Saya tidak tahu, mungkin BCL dan Noah juga akan merasakan hal itu. Kesedihan (dan penyesalan) yang dalam paska kejadian. Apalagi setahu saya, mereka adalah salah satu pasangan yang sangat romantis.
Tapi saya merasa, baik almarhum Bapak saya maupun Ashraf bahagia, mungkin. Setidaknya, Bapak saya sempat menyaksikan anak-anaknya "mentas semua" serta meninggal tanpa mewariskan hutang sepeserpun yang harus ditanggung anak dan istrinya.
Saat itu akan tiba pada saya kelak, entah cepat atau lambat. Dan saya juga pengen ketika saat itu tiba juga dengan perasaan ikhlas dan bahagia, istri dan anak-anak juga ikhlas dan bahagia (mungkin seperti BCL dan Noah). Bekal akhirat saya coba siapkan diam-diam.
Dan peninggalan dunia yang cukup juga disiapkan. Walaupun saya juga 'orang asuransi' karena saya belajar Hukum Waris, saya selalu terbuka kalau ada teman agen asuransi lain memberi penawaran solusi waris. Itu upaya saya menyiapkan bekal untuk anak istri saya.
Tak tega rasanya melihat istri saya harus (secara sengaja atau tidak) hidup dari sumbangan teman-teman saya, karena tak saya siapkan bekal yang cukup buat mereka.
Jangan sampai (amit-amit !) sepeninggal saya kelak, istri saya berucap di grup watsap teman-teman saya "Terimakasih, sumbangan uang dari teman-teman mas Basri sudah membantu menyambung hidup saya dan anak-anak".
Jangan sampai.
Ada selebritis yang cerai kemudian nikah lagi, cerai nikah lagi jual asset lama beli asset baru, cerai lalu bagi-bagi harta tapi hartanya masih di bank hingga yang melakukan perjanjian pra nikah.
Tapi, khusus soal berita kematian satu selebritis ini, Ashraf -suami BCL- saya mencoba melihatnya dari sisi yang berbeda.
Saya membaca, mengikuti tayangan streaming serta melihat BCL dan Noah -anaknya- kelihatan sangat berduka, namun tegar tak menangis saat almarhum masuk dalam liang lahat di pemakaman San Diego Hills. Padahal tak sampai 24 jam sebelumnya, BCL masih bertemu dengan suaminya, menyanyi dan tertawa sebagai juri di Acara Idol.
Tahun 2006, saya 'kehilangan' Bapak saya. Saya ingat saat itu hari minggu, saya sedang mancing di depok bersama teman-teman Seputar Indonesia. Kami tertawa-tawa gembira, sebagaimana umumnya orang yang kumpul dengan teman-teman. Sampai kemudian ada telepon dari Ibu mengabarkan", Bapak sakit. Kalau bisa pulang".
Saya bergegas mengabari adik-adik, bersiap dan kami konvoi tiga mobil pulang ke Semarang siang itu juga. Sampai di Cirebon, saya mendapat kabar Bapak sudah tiada. Istribsaya menangis, saya tidak. Tidak bisa tangisan itu keluar bahkan sampai saya ikut menurunkan Bapak di liang lahat.
Tapi kesedihan itu datang bertubi-tubi setidaknya sebulan hingga dua bulan kemudian. Bahkan kadang dipicu oleh sebab yang sederhana : melihat orang menenteng kamera, karena dulu almarhum Bapak hobi fotografi. Saya bisa tiba-tiba pengen nangis ingat Bapak.
Saya tidak tahu, mungkin BCL dan Noah juga akan merasakan hal itu. Kesedihan (dan penyesalan) yang dalam paska kejadian. Apalagi setahu saya, mereka adalah salah satu pasangan yang sangat romantis.
Tapi saya merasa, baik almarhum Bapak saya maupun Ashraf bahagia, mungkin. Setidaknya, Bapak saya sempat menyaksikan anak-anaknya "mentas semua" serta meninggal tanpa mewariskan hutang sepeserpun yang harus ditanggung anak dan istrinya.
Saat itu akan tiba pada saya kelak, entah cepat atau lambat. Dan saya juga pengen ketika saat itu tiba juga dengan perasaan ikhlas dan bahagia, istri dan anak-anak juga ikhlas dan bahagia (mungkin seperti BCL dan Noah). Bekal akhirat saya coba siapkan diam-diam.
Dan peninggalan dunia yang cukup juga disiapkan. Walaupun saya juga 'orang asuransi' karena saya belajar Hukum Waris, saya selalu terbuka kalau ada teman agen asuransi lain memberi penawaran solusi waris. Itu upaya saya menyiapkan bekal untuk anak istri saya.
Tak tega rasanya melihat istri saya harus (secara sengaja atau tidak) hidup dari sumbangan teman-teman saya, karena tak saya siapkan bekal yang cukup buat mereka.
Jangan sampai (amit-amit !) sepeninggal saya kelak, istri saya berucap di grup watsap teman-teman saya "Terimakasih, sumbangan uang dari teman-teman mas Basri sudah membantu menyambung hidup saya dan anak-anak".
Jangan sampai.
Comments
Post a Comment