Beberapa hari ini saya kesulitan menjerang air karena panci yang biasa saya pakai bocor, bolong di dasarnya.
Saya minta tolong salah satu karyawan saya mencari tukang tambal panci bocor. Jaman saya kecil namanya tukang patri. "Susah pak, nggak ada lagi tukang patri kayak gitu",kata karyawan saya setelah dua hari keliling pasar Bogor.
Saya minta tolong salah satu karyawan saya mencari tukang tambal panci bocor. Jaman saya kecil namanya tukang patri. "Susah pak, nggak ada lagi tukang patri kayak gitu",kata karyawan saya setelah dua hari keliling pasar Bogor.
Mengingat
tukang patri, saya teringat jaman kecil dulu. Ada profesi lain pada
jaman itu bernama "Tukang Golek Tegesan". Golek dalam bahasa Jawa
artinya Mencari, Tegesan artinya puntung rokok.
Kalau susah makan, ibu saya suka menakuti saya "Kalu bandel, nggak mau makan, ntar kamu diambil sama tukang golek tegesan". Tukang ini bekerja keliling kampung ke kampung mengumpulkan puntung rokok yang masih ada cengkeh dan tembakaunya.
Dulu belum populer rokok filter, semua rokok adalah tipe kretek. Sehingga ketika dirokok dan ukurannya tinggal sejepitan jari, rokok itu dibuang. Jadilah puntung rokok, yang diambil, dibuka kertasnya dan dikumpulkan lagi sisa-sisa tembakau dan cengkehnya untuk diolah lagi jadi rokok kelas 2 atau kelas 3.

Seiring hilangnya rokok kretek berganti rokok filter, tukang golek tegesan juga punah.
Di masa depan, tak hanya tukang patri dan tukang golek tegesan yang "punah". Banyak profesi yang dulu ada, karena kemajuan jaman juga hilang.
Karena banyaknya profesi lama yang punah, banyak sarjana kita yang mengalami "degradasi" di dunia kerja. Mereka mengerjakan pekerjaan yang dulunya "hanya" dikerjakan anak-anak SMA. Tahun 2011 saya pernah cerita, saat mau ambil kredit mobil grandmax untuk jualan Misterblek, yang datang survey dan mengambil data adalah seorang sarjana lulusan sebuah PTN.
Selain keadaan, pola pikir orang tua zaman lawas yang mendorong anak-anaknya (yang notabene generasi millenial) untuk "bekerja" sebagaimana mereka dulu, juga membuat makin banyak sarjana terdegradasi, malah jadi pengangguran elit... di saat sebenarnya peluang usaha atau kerja di luar sana banyak sekali.
Kalaupun "nyemplung" jadi entrepreneur, mereka hanya jadi "Gerobakpreneur" : meminjam istilah pak Rhenald Kasali di bukunya "Strawberry Generation". Gerobakpreneur ini membuka usaha hanya sebatas untuk mengisi kebutuhan perut sendiri dan keluarganya dengan jenis usaha yang justru menyaingi para Pengusaha kaki lima.
Maka penting hari-hari ini memiliki pekerjaan atau usaha yang memberi "impact" yang besar pada komunitas. Tak berhenti belajar, bergaul dengan anak-anak muda dengan ide-ide baru, bukan dengan generasi tukang copas. Apalagi copas hal-hal yang juntrungannya tak jelas.
Supaya nanti tidak punah seperti tukang patri, tukang golek tegesan dan panci bolong saya.
Selamat memberi "impact" dan kontribusi.
Kalau susah makan, ibu saya suka menakuti saya "Kalu bandel, nggak mau makan, ntar kamu diambil sama tukang golek tegesan". Tukang ini bekerja keliling kampung ke kampung mengumpulkan puntung rokok yang masih ada cengkeh dan tembakaunya.
Dulu belum populer rokok filter, semua rokok adalah tipe kretek. Sehingga ketika dirokok dan ukurannya tinggal sejepitan jari, rokok itu dibuang. Jadilah puntung rokok, yang diambil, dibuka kertasnya dan dikumpulkan lagi sisa-sisa tembakau dan cengkehnya untuk diolah lagi jadi rokok kelas 2 atau kelas 3.

Seiring hilangnya rokok kretek berganti rokok filter, tukang golek tegesan juga punah.
Di masa depan, tak hanya tukang patri dan tukang golek tegesan yang "punah". Banyak profesi yang dulu ada, karena kemajuan jaman juga hilang.
Karena banyaknya profesi lama yang punah, banyak sarjana kita yang mengalami "degradasi" di dunia kerja. Mereka mengerjakan pekerjaan yang dulunya "hanya" dikerjakan anak-anak SMA. Tahun 2011 saya pernah cerita, saat mau ambil kredit mobil grandmax untuk jualan Misterblek, yang datang survey dan mengambil data adalah seorang sarjana lulusan sebuah PTN.
Selain keadaan, pola pikir orang tua zaman lawas yang mendorong anak-anaknya (yang notabene generasi millenial) untuk "bekerja" sebagaimana mereka dulu, juga membuat makin banyak sarjana terdegradasi, malah jadi pengangguran elit... di saat sebenarnya peluang usaha atau kerja di luar sana banyak sekali.
Kalaupun "nyemplung" jadi entrepreneur, mereka hanya jadi "Gerobakpreneur" : meminjam istilah pak Rhenald Kasali di bukunya "Strawberry Generation". Gerobakpreneur ini membuka usaha hanya sebatas untuk mengisi kebutuhan perut sendiri dan keluarganya dengan jenis usaha yang justru menyaingi para Pengusaha kaki lima.
Maka penting hari-hari ini memiliki pekerjaan atau usaha yang memberi "impact" yang besar pada komunitas. Tak berhenti belajar, bergaul dengan anak-anak muda dengan ide-ide baru, bukan dengan generasi tukang copas. Apalagi copas hal-hal yang juntrungannya tak jelas.
Supaya nanti tidak punah seperti tukang patri, tukang golek tegesan dan panci bolong saya.
Selamat memberi "impact" dan kontribusi.
Comments
Post a Comment