"Dik, mbak Warsinya pak Parjo semalam akhirnya meninggal. Mesakno
(kasihan), dua hari lalu -seperti sudah punya firasat - dia sempat pesan
sama ibu, kalau dia sampai meninggal uang santunan kematian dari
JIMPITAN minta dibayari buat nebus ijazah anaknya yang baru saja lulus
SMA",kata Ibu saya semalam lewat telepon mengabarkan.
Didik adalah nama panggilan saya di kampung, dan mbak Warsi adalah tetangga, tinggal berselisih empat rumah dari rumah kami ke arah Selatan. Mbak Warsi adalah salah satu tokoh penting dalam masa kecil, karena dia selalu membiarkan kami - anak-anak kecil nakal - bermain layang-layang, benthik, petak umpet di halaman rumahnya yang luas dan rata. Mbak Warsi, semalam meninggal setelah setahun didera kanker payudara, di rumahnya yang sederhana dan nyaris tak berubah sejak saya tinggalkan kampung 27 tahun lalu.
Dan dari ibu saya diingatkan lagi akan kata JIMPITAN. Saya ingat di tahun-tahun 1980an, saat itu saya masih unyu-unyu, di tembok kecil depan rumah digantungkan sekerat potongan bumbung bambu petung untuk menampung sejumput beras, atau uang Rp 5,- . Oya, rumah kami di Semarang tak berpagar. Bukan karena elit, tapi Bapak dulu merasa kalau rumah dipagari seperti dipenjara, terlebih tak ada barang berharga yang perlu dijaga dengan pagar : kecuali sebuah TV merek Grundig Hitam Putih yang itupun mati bila aki sedang habis setrumnya.
Pernah saking penasaran, saya mengintip melalui gorden butut di jendela depan kemana pergi beras atau uang Rp 5,-, karena tiap pagi saya sudah temukan bumbung bambu itu sudah kosong. Padahal baru pada malam sebelumnya diisi. Saya pikir, waktu itu, itu adalah semacam persembahan buat gendruwo, kuntilanak atau jin supaya tak mengganggu kami. Ternyata tiap malam, tukang ronda berkeliling mengambil beras atau uang jimpitan itu.
"Itu untuk membayar jasa mereka meronda
kampung, membeli kopi dan sebagian besar disetorkan ke pak RT untuk
santunan kematian bila ada warga yang meninggal", kata (almarhum) Bapak
saya dulu menjelaskan. Dan saya mulai ngerti konsep JIMPITAN itu,
hingga saat saya pulang terakhir ke Semarang bumbung bambu itu sudah
berganti dengan bekas botol air mineral yang dipotong bagian atasnya.
Saya dengar dari ibu, setiap warga kampung kami yang meninggal mendapat santunan kematian -dari JIMPITAN itu - Rp 1.500.000,-... satu setengah juta rupiah.
Dan mbak Warsi mewasiatkan uang (yang tak seberapa) itu untuk menebus ijazah anaknya yang ditahan sekolah, karena belum lunas SPP.
Tentu, di tempat tinggal saya sekarang tak ada jimpitan. Untuk iuran keamanan, kami tak lagi mencicil dengan sejumput beras atau uang lima rupiah. Satpam berkeliling setiap tanggal 1, mengutip uang kebersihan dan keamanan ...cash !
Tak ada pula santunan kematian dari uang JIMPITAN. Bila ada tetangga yang meninggal, di depan pagarnya diletakkan kaleng biskuit yang sudah di cat. Yang saya yakin, uang yang terkumpul, jangankan untuk menutup hutang-hutang si meninggal, buat biaya selametan saja kurang.
Maka, inilah foto JIMPITAN saya. Cicilan iuran untuk santunan (bagi keluarga atas) kematian saya. Jadi kalau umur saya sampai nanti (dan itu pasti datang), ada uang untuk istri saya melunasi hutang dan anak-anak melanjutkan sekolah.
Di jaman orang mulai mikirin dirinya sendiri, saya diajari untuk tetap melestarikan budaya JIMPITAN, yang bernama Program Asuransi. Mengingat orang-orang - keluarga yang dicintai, anda sudah ikut program Jimpitan ini ?
Didik adalah nama panggilan saya di kampung, dan mbak Warsi adalah tetangga, tinggal berselisih empat rumah dari rumah kami ke arah Selatan. Mbak Warsi adalah salah satu tokoh penting dalam masa kecil, karena dia selalu membiarkan kami - anak-anak kecil nakal - bermain layang-layang, benthik, petak umpet di halaman rumahnya yang luas dan rata. Mbak Warsi, semalam meninggal setelah setahun didera kanker payudara, di rumahnya yang sederhana dan nyaris tak berubah sejak saya tinggalkan kampung 27 tahun lalu.
Dan dari ibu saya diingatkan lagi akan kata JIMPITAN. Saya ingat di tahun-tahun 1980an, saat itu saya masih unyu-unyu, di tembok kecil depan rumah digantungkan sekerat potongan bumbung bambu petung untuk menampung sejumput beras, atau uang Rp 5,- . Oya, rumah kami di Semarang tak berpagar. Bukan karena elit, tapi Bapak dulu merasa kalau rumah dipagari seperti dipenjara, terlebih tak ada barang berharga yang perlu dijaga dengan pagar : kecuali sebuah TV merek Grundig Hitam Putih yang itupun mati bila aki sedang habis setrumnya.
Pernah saking penasaran, saya mengintip melalui gorden butut di jendela depan kemana pergi beras atau uang Rp 5,-, karena tiap pagi saya sudah temukan bumbung bambu itu sudah kosong. Padahal baru pada malam sebelumnya diisi. Saya pikir, waktu itu, itu adalah semacam persembahan buat gendruwo, kuntilanak atau jin supaya tak mengganggu kami. Ternyata tiap malam, tukang ronda berkeliling mengambil beras atau uang jimpitan itu.

Saya dengar dari ibu, setiap warga kampung kami yang meninggal mendapat santunan kematian -dari JIMPITAN itu - Rp 1.500.000,-... satu setengah juta rupiah.
Dan mbak Warsi mewasiatkan uang (yang tak seberapa) itu untuk menebus ijazah anaknya yang ditahan sekolah, karena belum lunas SPP.
Tentu, di tempat tinggal saya sekarang tak ada jimpitan. Untuk iuran keamanan, kami tak lagi mencicil dengan sejumput beras atau uang lima rupiah. Satpam berkeliling setiap tanggal 1, mengutip uang kebersihan dan keamanan ...cash !
Tak ada pula santunan kematian dari uang JIMPITAN. Bila ada tetangga yang meninggal, di depan pagarnya diletakkan kaleng biskuit yang sudah di cat. Yang saya yakin, uang yang terkumpul, jangankan untuk menutup hutang-hutang si meninggal, buat biaya selametan saja kurang.
Maka, inilah foto JIMPITAN saya. Cicilan iuran untuk santunan (bagi keluarga atas) kematian saya. Jadi kalau umur saya sampai nanti (dan itu pasti datang), ada uang untuk istri saya melunasi hutang dan anak-anak melanjutkan sekolah.
Di jaman orang mulai mikirin dirinya sendiri, saya diajari untuk tetap melestarikan budaya JIMPITAN, yang bernama Program Asuransi. Mengingat orang-orang - keluarga yang dicintai, anda sudah ikut program Jimpitan ini ?
Comments
Post a Comment