Beritanya dibuka dengan kata-kata "Kabar bahwa Saudi Arabia
mengajukan pinjaman pada IMF sebesar 10 Miliar dollar adalah sangat
mengejutkan".
Sejak harga minyak terjun bebas dari US$ 147 (2008) hingga US$ 47 saat ini, tentu problem yang tidak bisa dibilang ringan bagi Saudi.

Awal tahun ini, Raja Saudi berkeliling ke beberapa negara : termasuk China dan Indonesia membawa komitmen investasi. Indonesia dijanjikan kebagian "kue" US$ 25 Miliar, yang oleh kaum hore-hore medsos dan grup watsap "digoreng" sedemikian rupa, seakan Raja Saudi datang membawa uang sebagai ummat seagama yang peduli. Padahal itu baru komitmen, baru akan direalisasi setelah IPO 5% saham Aramco (yang digadang-gadang nilainya bakal US$ 100 Miliar) yang belum tahu kapan kejadiannya.
Dan tiba-tiba muncul kabar ini, pinjamnya dari IMF pula. Kita tahu IMF memiliki riwayat kurang baik dalam "cawe-cawe" urusan negara yang dipinjaminya. Indonesia salah satunya ...barangkali masih ingat.
Lho berarti dengan 5% kapitalisasi Aramco saja senilai segitu, seharusnya Arab saudi ini kan kaya raya. Ya, tapi baru beberapa tahun belakangan ini -dan bisa dikatakan terlambat, sebenarnya- Arab Saudi gencar membangun infrastruktur, mendorong riset Teknologi Pangan, IT serta Pengembangan kualitas Sumberdaya Manusia. Mereka tetaplah importir terbesar produk-produk yang terkait kanyamanan warga negaranya, serta negara dengan investasi terbesar ke Barat (baca : Amerika).
Saking "sudah mulai susahnya" mulai 1 Januari 2018 Arab Saudi akan menerapkan VAT (Value Added Tax) alias Pajak Pertambahan Nilai dan ... Pajak keluarga yang besarnya 100 Riyal Saudi per keluarga.
Kenapa ini bisa terjadi ? Ya itu dia :
Pertama, terlena mengenyam kenikmatan hasil minyak yang belakangan ternyata tak seindah dulu. Itulah "comfort zone" adalah "killing zone".
Kedua, mereka gemar menaruh telur dalam satu keranjang. Telur investasi mereka di US Treasury (Amerika bro ...Amerika) nilainya hampir US$ 750 Miliar. Dan saat mereka sedang "bermasalah" dengan Amerika, investasi itu tertahan tak bisa diapa-apain.
Maka belajar dari Arab Saudi : janganlah terlena oleh "comfort zone". Karir lagi bagus, tak selamanya bagus. Mulai berfikir bahwa nanti -mungkin- akan ada masa sulit yang memaksa kita berubah. Jangan sampai kedaulatan kita terganggu oleh hutang.
Dan belajar dari Arab Saudi, pas ada uang banyak, jangan letakkan "telur masa depan" itu di satu keranjang. Diversifikasikan : saham, reksa dana, unit link adalah beberapa cara yang baik juga untuk diversifikasi asset. Supaya telur tak pecah semua, ketika keranjangnya ada goncangan.
Dan itu pekerjaan saya, membagi pengetahuan bagaimana membuat "telur masa depan" anda tak harus pecah semua saat keranjangnya goncang... seperti Arab Saudi.
Endingnya jualan (lagi !).
-----
Beritanya bisa dibaca di sini : https://www.middleeastmonitor.com/20170831-saudi-arabias-10bn-imf-loan-and-its-implications/
Sejak harga minyak terjun bebas dari US$ 147 (2008) hingga US$ 47 saat ini, tentu problem yang tidak bisa dibilang ringan bagi Saudi.

Awal tahun ini, Raja Saudi berkeliling ke beberapa negara : termasuk China dan Indonesia membawa komitmen investasi. Indonesia dijanjikan kebagian "kue" US$ 25 Miliar, yang oleh kaum hore-hore medsos dan grup watsap "digoreng" sedemikian rupa, seakan Raja Saudi datang membawa uang sebagai ummat seagama yang peduli. Padahal itu baru komitmen, baru akan direalisasi setelah IPO 5% saham Aramco (yang digadang-gadang nilainya bakal US$ 100 Miliar) yang belum tahu kapan kejadiannya.
Dan tiba-tiba muncul kabar ini, pinjamnya dari IMF pula. Kita tahu IMF memiliki riwayat kurang baik dalam "cawe-cawe" urusan negara yang dipinjaminya. Indonesia salah satunya ...barangkali masih ingat.
Lho berarti dengan 5% kapitalisasi Aramco saja senilai segitu, seharusnya Arab saudi ini kan kaya raya. Ya, tapi baru beberapa tahun belakangan ini -dan bisa dikatakan terlambat, sebenarnya- Arab Saudi gencar membangun infrastruktur, mendorong riset Teknologi Pangan, IT serta Pengembangan kualitas Sumberdaya Manusia. Mereka tetaplah importir terbesar produk-produk yang terkait kanyamanan warga negaranya, serta negara dengan investasi terbesar ke Barat (baca : Amerika).
Saking "sudah mulai susahnya" mulai 1 Januari 2018 Arab Saudi akan menerapkan VAT (Value Added Tax) alias Pajak Pertambahan Nilai dan ... Pajak keluarga yang besarnya 100 Riyal Saudi per keluarga.
Kenapa ini bisa terjadi ? Ya itu dia :
Pertama, terlena mengenyam kenikmatan hasil minyak yang belakangan ternyata tak seindah dulu. Itulah "comfort zone" adalah "killing zone".
Kedua, mereka gemar menaruh telur dalam satu keranjang. Telur investasi mereka di US Treasury (Amerika bro ...Amerika) nilainya hampir US$ 750 Miliar. Dan saat mereka sedang "bermasalah" dengan Amerika, investasi itu tertahan tak bisa diapa-apain.
Maka belajar dari Arab Saudi : janganlah terlena oleh "comfort zone". Karir lagi bagus, tak selamanya bagus. Mulai berfikir bahwa nanti -mungkin- akan ada masa sulit yang memaksa kita berubah. Jangan sampai kedaulatan kita terganggu oleh hutang.
Dan belajar dari Arab Saudi, pas ada uang banyak, jangan letakkan "telur masa depan" itu di satu keranjang. Diversifikasikan : saham, reksa dana, unit link adalah beberapa cara yang baik juga untuk diversifikasi asset. Supaya telur tak pecah semua, ketika keranjangnya ada goncangan.
Dan itu pekerjaan saya, membagi pengetahuan bagaimana membuat "telur masa depan" anda tak harus pecah semua saat keranjangnya goncang... seperti Arab Saudi.
Endingnya jualan (lagi !).
-----
Beritanya bisa dibaca di sini : https://www.middleeastmonitor.com/20170831-saudi-arabias-10bn-imf-loan-and-its-implications/
makasih sharingnya pa basri
ReplyDelete