Skip to main content

ANGKU ZAINAL

"Dia bukan tipe lelaki romantis pengumbar janji. Bila kebetulan bertandang saat malam Minggu, beberapa kali malam Minggu hingga dia melamar Mama serta menikah, baju yang dipakainya selalu sama. Kemeja putih bersalur hitam lengan panjang yang digulung lengannya",kenang Nenek Sari ,demikian anak-anak kami biasa memanggil Mama, ibu mertua saya.

(alm.) Angku Zainal dan Nenek Sari
Angku Zainal tepat berusia 80 tahun awal Desember lalu. Saat ulang tahun lalu, dia "mencandai" sakitnya dengan bilang, bila pulih seperti sedia kala akan ajak kami anak, mantu dan cucunya pergi jalan-jalan : makan durian. "Dulu (saat masih muda) sewaktu One (ibu beliau) sakit, saya pergi ke pasar Tarandam borong durian satu keranjang untuk dimakan bareng-bareng, termasuk bersama One (yang jelas menderita diabetes). Tapi makan duren ramai-ramai, membuat One berseri wajahnya-lupa pada sakitnya",kenang beliau.

Angku Zainal, selain bukan tipe "gadang Ota" seperti gambaran Nenek Sari, juga adalah tipe "family man" yang kata orang Jawa "Gemi setiti ngati-ngati'. Hemat cermat.

Sepanjang perjalanan karirnya beliau habiskan sebagai pegawai biasa di kantor pajak. Berpindah-pindah dari Payakumbuh, Bukittinggi hingga akhirnya pensiun di kota Padang. Pangkatnya tak bisa tinggi benar, karena beliau "hanya" lulusan SMA. Itupun ditempuhnya sambil bekerja. "Saya dulu bandel. Saat teman-teman berangkat sekolah, saya main layang-layang, kadang berantam (berkelahi) di Pasar",kenangnya lagi. Supaya tak lagi nakal, seorang Paman mengajaknya bekerja di kantor Pajak, bantu-bantu. Dan di sanalah karirnya tertambat hingga pensiun.

Kata Nenek",Angku, dulu jam setengah tujuh sudah siap di meja makan. Sarapan. Nenek membuat teh telur sebagai teman sarapan Angku. Jadi di kantor, saat teman-temannya "nongkrong" di Lapau, beliau tak lagi. Siang hari beliau memilih pulang ke rumah menikmati makan siang yang sudah disiapkan. Jadi Angku tak pernah jajan".

Di akhir pekan, Angku Zainal dengan mobil Daihatsu Hijet yang dibeli dengan keping demi keping gajinya, mengajak anak istri beserta anak-anak tetangga (yang kebetulan secara ekonomi kurang beruntung) jalan-jalan. Kadang itu hanya sekedar ke Lubuk Minturun, sejelujur sungai dengan air jernih dan batu-batuan, mandi-mandi serta diakhiri makan nasi bekal bersama di dataran landainya.
Setiap orang yang datang membawa kesusahan, akan pulangnya dari rumahnya dengan beberapa ribu rupiah di tangan serta seulas senyum. Beliau senang melihat orang lain senang.

Ketika rumah kami di Parak Pisang dibangun, setiap satu bata yang dibeli, beliau juga membeli satu bata untuk rumah One di Andalas. Hingga saat rumah kami selesai terbangun, selesai juga terbangun rumah orang tua beliau. Jadi alih-alih membangun satu rumah mewah untuk keluarganya sendiri, beliau memilih untuk membangun rumah orang tuanya.

Beliau adalah pejuang tangguh, super tangguh. Bukan lelaki tukang ngeluh. Hingga kini. Sesaat setelah menikah, beliau dipindahkan ke kantor Bukittinggi dari Padang. Setiap pagi, beliau menaikinya Vespanya dari Padang-Bukittinggi. Demikian juga baliknya. Bertahun-tahun. Dilaluinya dengan senyum, setidaknya itu terlihat di foto-foto yang album yang tersusun dalam album lama di rumah.

Yang mengejutkan, saat kami.ajak beliau Umrah tiga tahun lalu, artinya saat itu usianya 77 tahun, beliau kuat melakukan Thawaf dan Sa'i tanpa kursi roda pukul 12 hingga 3 pagi !
Minggu lalu, gula darah beliau tiba-tiba melonjak tinggi, trombosit turun drastis. Tapi angku Zainal diam saja, tak mengerang atau mengeluh. Sedikitpun. Kadang beliau masih ingat kami, kadang tidak.
Dalam tidurnya, semalam, saat orang hiruk pikuk menyulut mercon dan meniup terompet... Saya melihat beliau kadang tersenyum.

Mungkin, lelaki tangguh ini sedang mengenang saat menikmati duren bersama. Seperti dulu saat mudanya.

** In Memoriam Angku Zainal (19 November 1936-3 Januari 2017, beliau wafat tepat dua hari setelah tulisan ini tayang di facebook.

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG