Skip to main content

Pagi yang Sedih

Pagi-pagi, sambil menunggu air untuk kopi dijerang, saya sempatkan browsing baca-baca berita.  Koran pagi belum lagi datang.   Hingga, kursor mouse saya tergoda untuk meng-klik sebuah artikel di Kompasiana ditulis seseorang bernama SP (cukup inisial saja lah ya...), postingan tanggal 9 April 2012, berjudul ;"Aku Tak Percaya Bank dan Asuransi".  Statement-nya cukup menggelitik, ini saya kutipkan sebagian :

 " ...Sama tak masuk akalnya adalah asuransi. Bagaimana mungkin kita mengalihkan resiko pada asuransi dengan membayar premi (premi pasti harus dibayar) sedangkan resiko itu tidaklah pasti akan terjadi, tapi pembayaran premi pasti harus dilunasi. Jika resiko tidak terjadi dalam kurun tertentu masa tanggungan, premi dianggap hangus. Owww, tidak adil banget.
Mendingan uang digunakan untuk investasi riil, atau ditabung sendiri (bukan di bank, tapi dalam bentuk emas, sertifikat saham, dll). Saat resiko benar-benar terjadi, uang tadi bisa digunakan untuk mengatasi resiko tersebut.
Sesungguhnya, ada alasan lain mengapa aku tak suka asuransi dalam segala bentuk dan turunannya. Ya, karena tak tahan dengan prosedur birokrasinya. Ketika resiko benar-benar terjadi, harus siapkan bukti inilah, bukti itulah, fotocopy itulah, inilah, lalu menunggu. Harap-harap cemas permohonan dikabulkan pihak asuransi. Seolah-olah nasabah yang memohon dan meminta-minta. Dan asuransi adalah malaikat penolong. Padahal, duitnya duit nasabah!
Sore kemaren agen asuransi datang ke rumah. Baru duduk sudah kusampaikan pendirian di atas. Langsung deh agen itu ngacir. Ha ha ha ha!..."

Pagi yang Sedih
Membaca statement di atas, saya cukup prihatin.

Pertama, karena dikatakan resiko belum tentu terjadi, tapi pembayaran premi tetap harus dilunasi. Sebagai manusia beriman, saya percaya resiko pasti akan terjadi (aka : Mati).  Tinggal kapan waktunya itu yang kita tak tahu.  Jadi, kalau dikatakan tidak pasti terjadi, saya rasa itu 100% keliru.  Resiko pasti terjadi.

Kedua, Premi yang dibayarkan tidak sebanding dengan Uang Pertanggungan yang akan dibayarkan oleh Asuransi, karena prinsip Asuransi (apalagi yang Syariah) jelas gotong-royong.  Sekumpulan orang mengumpulkan uang, yang bila diantara ada orang di kumpulan itu "menerima resiko" maka dibayar dari situ.  Bayangkan, bila anda umur masih 30-an tahun dengan hanya "menyetor" Rp 6 juta per TAHUN , bila terkena resiko AHLI WARIS anda akan menerima  Rp 1 Milyar.  Titik beratnya adalah memang di ahli waris, kita yang umurnya sudah "jatuh tempo" tidak akan menerima manfaatnya. 

Ketiga, berhubungan dengan point kedua di atas.  Pun, misalnya masa pertanggungan kita 15 tahun, kita bayar sekaligus untuk 15 tahun itu, dengan premi @Rp 6 juta per TAHUN; jumlahnya tak akan sebesar Uang Pertanggungan yang bakal diterima ahli waris kita. Selama 15 tahun kita bayar katakan 15 tahun x 6 juta = 90 juta, Uang Pertanggungan yang bakal diterima  Rp 1 Milyar.  Siapa yang mau memberi anda uang 1 Milyar, disaat anda hanya "nabung" cuma 90 juta?  lalu siapa yang menjamin kita bisa hidup hingga 15 tahun ke depan ? Wallahu'alam. Ajal bisa datang kapan saja.

Keempat, Soal premi hangus.  Rupanya penulis memang buta sama sekali soal asuransi.  Dia harus belajar, bahwa ada 3 macam produk asuransi. Yang dibilang "hangus" hanya produk TERM/berjangka, karena preminya relatif kecil namun Uang Pertanggungan besar sekali.  Untuk produk WHOLE LIFE dan ENDOWMENT tetap ada pengembalian ke nasabah kalau tidak terjadi resiko kan?

 Kelima, soal mendingan uang dipakai usaha di sektor riil.  Kawan kita satu ini harus melihat data, berapa % penduduk Indonesia yang statusnya karyawan, dan statusnya pengusaha.  Bahkan pengusaha -yang notabene biasa mengelola usaha - tak semua melek soal keuangan. Emas, Saham, apakah tak mengandung resiko? Apakah dalam pengelolaannya tak perlu skill khusus?  Jadi sangat naif kalau dia menganjurkan "meng-cover" resiko dengan meletakkan uang di sektor riil saja.    Dia mungkin lupa, bahkan ketika kita punya rumah atau mobil pun harus diasuransikan.  Itu benda saja diasuransikan, kenapa nyawa kita enggak?  Padahal jelas "nyawa" kita adalah asset paling produktif di dunia. Nggak ada nyawa kita , maka keluarga akan mengalami Inflasi paling besar dalam hidupnya.

Keenam. Tak Tahan Prosedur Birokrasi? Mungkin beliau ini hidup di tengah hutan.  Lhah bahkan mengurus KTP saja pakai birokrasi, kita beli rumah pakai KPR yang jelas-jelas mengeluarkan uang harus pakai birokrasi, Lha ini mau terima uang yang bermanfaat nggak mau pakai birokrasi?  Aneh.  lagian kalau nyawa sudah "jatuh tempo" dan Ahli Waris tahu kita meninggalkan milyaran rupiah untuk mereka, rasanya tak akan ada keberatan sedikitpun mengurus "sedikit" birokrasi.

Ketujuh.  Dalam hal pembayaran klaim, ya perusahaan Asuransi bukanlah malaikat penolong.  Ya Malaikatnya si pembayar premi asuransi.  Perusahaan asuransi nggak akan datang, kalau anda nggak bayar premi.  Apalagi dalam Asuransi berbasis Syariah, perusahaan asuransi cuma mengelola, klaim dibayar dari Tabarrru yang dikumpulkan secara gotong royong oleh semua pemegang polis.  Yang pasti datang duluan saat itu ya cuma Malaikat pencabut Nyawa.

Pagi ini, sedih hati saya baca postingan di Kompasiana itu.  Masih banyak teman-teman kita yang masih buta "mengelola uang" terutama saat berhubungan dengan asuransi.  Dipikir, uang mereka "ditilep" perusahaan Asuransi, padahal sejatinya uang mereka akan dikembalikan berlipat untuk keluarga dan ahli waris saat nyawa sudah "jatuh tempo".

Resiko itu pasti datang, cuma itu masih jadi Rahasia Tuhan. Tugas kita cuma bersiap, beramal baik untuk dibawa ke akherat, dan ber-asuransi untuk kita tinggalkan pada ahli waris kelak.

Itu pentingnya belajar dan banyak tahu.

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG