Skip to main content

Berdiri di Antrian

Setting di sebuah Bank Plat Merah, pukul 9.15 pagi.  Saya lupa kalau ini tanggal 3; waktunya para orangtua kita -yang pensiunan PNS- mengambil haknya.  Langit mendung, tapi udara pengap dan panas oleh karbondioksida manusia dalam antrian ini.

Illustrasi Kakek Tua Bertongkat
Dalam antrian itu saya renungkan kembali soal hidup.  Bapak di depan saya, saya taksir usianya sekitar 70 tahun.  Berbaju batik, dengan tongkat dan kaca mata, digelendotin oleh seorang bocah-yang saya tebak itu cucunya. Tentu masa mudanya telah dihabiskan dengan rutinitas bekerja, sekuat tenaga, pagi hingga petang.  Hingga kini masa tuanya, di tengah antrian mengambil beberapa juta rupiah uang pensiun.

Usia saya kini baru selewat sedikit dari 40 tahun.  Kalau umur saya panjang seperti Bapak di depan saya, maka paling tidak masih ada 30 tahun lagi buat saya mengumpulkan uang pensiun.  Berjualan kopi sekuat tenaga, tetap sehat dan sederhana.  Tapi entah kalau umur saya tak panjang.  Tapi tetap saja, harus ada yang saya tinggalkan buat anak-anak saya kelak.  Mereka ingin sekolah di London atau Paris.  Saya hanya menurut dan mendukung saja.

Maka, dalam antrian ini, melihat Bapak tua yang digelendotin cucunya.  Saya berfikir jauh dan merenung, apakah sahabat-sahabat saya juga sudah memikirkannya. Masa dimana tenaga sudah tak lagi ada, lapangan pekerjaan sudah tak lagi membutuhkan kita; tapi kebutuhan akan uang terus menggelora.  Makin tua, tentu kesehatan makin tak prima.  Dalam antrian ini saya memikirkannya.

Maka, dalam antrian ini, bukalah sedikit mata hati untuk tahu, bahwa ada segelintir orang yang peduli akan masa tua anda, dengan menyusunkan rencana.  Dia bahkan tak meminta bayaran untuk itu, hanya ingin anda membuka diri dan menyerap apa yang disampaikannya : bahwa masa tua ada juga yang harus direncanakan.

Bila hari ini anda hidup susah karena tak punya harta, jangan sampai anak anda ikut menanggungnya kelak.  Masih ada waktu untuk memperbaikinya.  Dalam antrian ini, barisan berangsur berkurang. Saya merasa, kini berada di antrian menuju tua, seperti kakek bertongkat yang digelendotin cucunya.


Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG