Salah satu keasyikan membuka Kelas Perencanaan Waris adalah memiliki Grup Alumni. Karena nyaris semua peserta grup adalah Pelaku Industri Asuransi, maka cerita tak pernah habis.
Salah satunya adalah cerita yang berasal dari salah satu peserta ini. Tentang pemberlakukan prinsip Sapikul Sagendongan dalam Hukum Waris secara Adat Jawa.
Apa sih Sapikul Sagendongan itu?
Maka lihatlah orang memikul dan menggendong. Seorang pemikul, pasti menggunakan sebatang bambu sebagai tuas untuk menopang dua keranjang dan menggendong adalah meletakkan satu keranjang di pinggul atau pinggang.
Sehingga dalam hukum waris menurut adat jawa, seorang lelaki adalah memikul, seorang perempuan menggendong. Seorang lelaki berhak menerima dua bagian (dari harta waris) dan perempuan satu bagian.
Ini mirip dengan apa yang diatur dalam Hukum Waris Islam.
Namun apakah aturan itu menjamin tak terjadinya sengketa? Tidak. Bahkan Hukum Waris Islam yang sudah jelas diatur dengan detil dalam Al Quran saja masih dipersengketakan, apalagi ini Hukum Adat yang hanya diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi.
Lalu bagaimana kalau bersengketa, terutama biadanya pihak perempuan merasa tidak puas atas bagiannya? Merasa keadilannya dilanggar? Maka perkaranya akan diajukan ke pengadilan dalam.bentuk sengketa.
Hanya saja, peradilan adat dan peradilan agama Islam hanya ada di tingkat pertama. Belum ada peradilan banding dan kasasi yang khusus menangani sengketa waris adat dan waris Islam.
Maka, bila sengketa berkelanjutkan, di tingkat banding dan kasasi akan menggunakan yurisprudensi, atau putusan yang sudah pernah dibuat atas peradilan kasus serupa di masa lalu.
Salah satu yang membuat "sapikul sagendongan" menjadi tak lagi efektif mengatur pembagian waris -terutama ketika pihak perempuan menuntut/menggugat- adalah penggunaan Yurispridensi putusan no 179/K/SIP/1961 yang dibuat atas perkara waris ada di Kabanjahe Sumatera Utara. Plus, adanya Peraturan MA no 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, terutama Pasal 5.
Jadi, itu mengapa Perencanaan Waris menjadi sangat strategis. Bukan kita mendoakan pewaris segera meninggal dan warisan segera dibagi.
Namun, kita tahu orang Indonesia makin sejahtera, makin kaya, assetnya makin banyak dan beragam. Tanpa pemahaman Perencanaan Waris yang benar, apa yang ditinggalkan bukannya jadi berkah, malah jadi Musibah.
Itu alasan mengapa BHR Academy terus berkiprah berbagi literasi soal Perencanaan Keuangan, Perencanaan Asset dan Perencanaan Waris. Terutama untuk para pelaku industri asuransi jiwa, karena mereka adalah Garda Terdepan ketika berbicara soal warisan.
Selain supaya tak salah ngomong atau tak asal ngomong, juga menyampaikan misi bahwa asuransi bukan sekedar urusan sakit dan mati.
Oke ....
Salah satunya adalah cerita yang berasal dari salah satu peserta ini. Tentang pemberlakukan prinsip Sapikul Sagendongan dalam Hukum Waris secara Adat Jawa.
Apa sih Sapikul Sagendongan itu?
Maka lihatlah orang memikul dan menggendong. Seorang pemikul, pasti menggunakan sebatang bambu sebagai tuas untuk menopang dua keranjang dan menggendong adalah meletakkan satu keranjang di pinggul atau pinggang.
Sehingga dalam hukum waris menurut adat jawa, seorang lelaki adalah memikul, seorang perempuan menggendong. Seorang lelaki berhak menerima dua bagian (dari harta waris) dan perempuan satu bagian.
Ini mirip dengan apa yang diatur dalam Hukum Waris Islam.
Namun apakah aturan itu menjamin tak terjadinya sengketa? Tidak. Bahkan Hukum Waris Islam yang sudah jelas diatur dengan detil dalam Al Quran saja masih dipersengketakan, apalagi ini Hukum Adat yang hanya diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi.
Kok bisa begitu? Seperti salah satu kasus "Joko dan Bowo" yang saya tulis beberapa hari lalu : ketika berhadapan dengan harta waris, orang akan muncul "warna aslinya".
Lalu bagaimana kalau bersengketa, terutama biadanya pihak perempuan merasa tidak puas atas bagiannya? Merasa keadilannya dilanggar? Maka perkaranya akan diajukan ke pengadilan dalam.bentuk sengketa.
Hanya saja, peradilan adat dan peradilan agama Islam hanya ada di tingkat pertama. Belum ada peradilan banding dan kasasi yang khusus menangani sengketa waris adat dan waris Islam.
Maka, bila sengketa berkelanjutkan, di tingkat banding dan kasasi akan menggunakan yurisprudensi, atau putusan yang sudah pernah dibuat atas peradilan kasus serupa di masa lalu.
Salah satu yang membuat "sapikul sagendongan" menjadi tak lagi efektif mengatur pembagian waris -terutama ketika pihak perempuan menuntut/menggugat- adalah penggunaan Yurispridensi putusan no 179/K/SIP/1961 yang dibuat atas perkara waris ada di Kabanjahe Sumatera Utara. Plus, adanya Peraturan MA no 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, terutama Pasal 5.
Jadi, itu mengapa Perencanaan Waris menjadi sangat strategis. Bukan kita mendoakan pewaris segera meninggal dan warisan segera dibagi.
Namun, kita tahu orang Indonesia makin sejahtera, makin kaya, assetnya makin banyak dan beragam. Tanpa pemahaman Perencanaan Waris yang benar, apa yang ditinggalkan bukannya jadi berkah, malah jadi Musibah.
Itu alasan mengapa BHR Academy terus berkiprah berbagi literasi soal Perencanaan Keuangan, Perencanaan Asset dan Perencanaan Waris. Terutama untuk para pelaku industri asuransi jiwa, karena mereka adalah Garda Terdepan ketika berbicara soal warisan.
Selain supaya tak salah ngomong atau tak asal ngomong, juga menyampaikan misi bahwa asuransi bukan sekedar urusan sakit dan mati.
Oke ....
Comments
Post a Comment