Saya ceritakan sebuah kisah yang klien saya sudah setuju dan membolehkan saya menceritakannya pada anda semua. Sebuah pelajaran tentang rumitnya persoalan waris.
Sebut saja klien saya bernama Joko. Dia menikah dan memiliki dua anak yang perempuan yang sudah beranjak remaja. Joko dan istrinya adalah tipe pekerja keras yang memutuskan merantau dan berpisah dari orang tua sejak mereka SMA.
Mereka memilih untuk susah payah menghidupi diri dan keluarga dengan keringat sendiri, walau melalui berbagai badai cobaan terutama dari sisi ekonomi. Joko dan istrinya, setidaknya, sampai hari ini memiliki hidup yang aman damai.
Istri Joko memiliki adik, katakan namanya Bowo. Tipe lelaki flamboyan, tukang tebar pesona namun otaknya kosong. Terbukti beberapa kali ngemplang utang di bank (tanpa memikirkan konsekuensi, minimal konsekuensi akherat), kejeblos investasi bodong (maklum otak kosong, kata Joko) bahkan bubar rumah tangganya.
Sekarang Bowo yang usianya kepala 4, sudah menikah lagi dengan seorang wanita yang seumuran anak sulung Joko.
Hubungan Joko dan Bowo biasa saja, dekat tidak jauhpun enggak.
Masalah muncul ketika Joko (karena mungkin terlalu baik) membuat keputusan untuk menampung dan merawat orang tua istrinya yang sakit. Keputusan yang diambil karena Bapak-Ibunya dahulu mengajarkan demikian : kalau ada orang kesulitan, sepanjang kita mampu, maka bantulah. Apalagi ini mertua.
Namun, tindakan Joko ini diterima lain oleh Bowo. Dalam pikiran Bowo, Joko mau menguasai harta warisan orangtuanya. Namun Bowo sendiri tak mau merawat orangtuanya yang sakit itu. Aneka macam alasannya.
Joko sudah tahu bahwa - sebagai menantu - dia memang tak akan ada hak waris, sebab dia klien saya sejak lama, kami sering diskusi dan belajar bareng. Dan setahu saya Joko adalah seorang muslim yang taat. Tahu agama, kalau kata orang-orang.
Tapi Bowo terus melancarkan aneka fitnah ke Joko. Dari fitnah "ngorotin", diam-diam menggunakan uang mertua hingga mau membuang mertua (yang jelas-jelas sekarang dalam pengawasan dan pemeliharaannya) .
Padahal kejadian sebenarnya sebaliknya, Bowolah yang lebih banyak berhutang dan "ngorotin" uang orang tuanya.
Repotnya finah itu tak hanya melukai Joko namun keluarga besar Joko (ada ibu dan adik-adiknya). Keluarga besar yang memang sejak dini diajarin soal welas asih dan peduli.
"Sampai hari ini, tak ada sepotong pun permintaan maaf dari keluarga istri saya", Kata Joko beberapa hari lalu, mengeluh. Seolah dianggap ini peristiwa biasa saja, padahal meninggalkan luka yang cukup dalam. "Apa mungkin mereka memang sudah terbiasa melakukan ini pada orang-orang yang sudah membantu mereka ya",Gumam Joko.
Memandang wajah Joko yang kecewa, terpukul dan "terluka", saya jadi ingat kata-kata guru-guru yang mengajari Ilmu Perencanaan Waris.
Dulu, para guru saya bilang",Ketika orang tua masih punya kendali (atas uang dan hartanya), semua kelihatan baik-baik saja. Tapi ketika orang tua mulai kehilangan kendali (karena sakit atau mati), maka akan kelihatan "Warna Asli" anak-anaknya".
Dan badai rumah tangga justru datangnya bisa jadi bukan dari dalam, tapi dari luar sebagai akibat kita terlalu "positif thinking" dalam mengambil keputusan.
Dalam kasus Joko, saya -Sebagai Estate Planner- terus terang tak bisa banyak membantu apa-apa.
Saya hanya bisa bantu dengan doa, semoga semua amal Joko dibalas dengan nikmat, dan yang memfitnah segera dilaknat.
Comments
Post a Comment