Ini adalah foto dari instalasi PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di rumah saya, usianya tepat satu bulan.
Seingat saya, waktu itu belum cerita soal bagaimana sampai ada ide aneh bikin instalasi PLTS.
Awalnya dari ide anak saya (dua-duanya lagi kuliah dari rumah) untuk memasang AC di rumah. "Tetangga kiri kanan sudah pada pasang AC, cuma rumah kita aja yang enggak pasang AC", demikian argumen mereka.
Saya menolak ide itu. Rumah kami di kota Bogor, dengan desain "terbuka" tak ada sekat, angin dengan leluasa keluar masuk rumah, jadi tak alasan kepanasan di dalam rumah, apalagi kalau malam.
Alasan kedua, karena seharusnya semakin panjang perjalanan hidup, kita makin bijaksana dengan uang. Kita musti mengerti konsekuensi dari barang atau asset yang kita beli.
Kemarin hal ini saya bahas di kelas Terbuka "Pajakmu adalah Pajakku" yang digelar oleh BHR Academy. Lumayan seru, pesertanya 50 orang dari nyaris semua perusahaan asuransi di Indonesia.
Saya bilang ", Asal muasal Perencanaan Waris adalah Perencanaan Pajak. Awal mula Perencanaan Pajak adalah Perencanaan Asset. Karena beda Asset beda (konsekuensi) Bea dan pajaknya".
Makanya, ada rencana kelas ini akan berlanjut pada kelas Perencanaan Asset, InsyaAllah mulai Januari tahun 2021. Dalam seri "Hartamu bukan Hartamu" dan "Pajakmu adalah Pajakku".
Balik lagi ke AC. Memiliki AC di rumah kami tak akan banyak menambah produktivitas, sebaliknya akan memberi beban tambahan tagihan listrik. Itu konsekuensinya.
Padahal mustinya kita hidup musti lebih banyak "saving dan investing" ketimbang "spending". Apalagi spending hanya karena dipicu "tetangga bisa, kita nggak bisa".
Maka, lahirlah ide membuat PLTS ini yang alih-alih menambah beban, justru mengurangi beban. Betul akan ada investasi, tapi ini investasi jangka panjang.
Sekarang, dengan kekuatan 800 Wattpeak, saya bisa menghidupkan PC, Laptop anak-anak dan TV nyaris 24 jam tanpa pakai listrik PLN. Itu artinya menghemat energi sekitar 1,8an-2 KWh per hari. Kalau harga per Kwh sekitar Rp 1.500,- maka hemat sekitar Rp 3.000 per hari, atau Rp 90.000 per bulan. Untuk keluarga dengan tagihan listrik -biasanya- Rp 450ribu per bulan, penghematan itu lumayan.
Apalagi dibantu oleh keajaiban dunia ke 8 yang namanya "Compounding", Rp 100ribu per bulan akan jadi Rp 20 juta sepuluh tahun lagi. Lumayan kan?
"Sejak CFP Bapak jadi pelit dan banyak perhitungan", Demikian Komentar anak saya sambil bercanda.
Walaupun pelit dan perhitungan itu berbeda bumi langit, tapi tak apa mendapat sebutan itu.
Daripada tampilan di medsos ala selebgram, tapi di kehidupan nyata ekonominya mirip kapal karam. Pose ala Sultan tapi dompetnya ngos-ngosan.
Kan malah runyam.
Seingat saya, waktu itu belum cerita soal bagaimana sampai ada ide aneh bikin instalasi PLTS.
Awalnya dari ide anak saya (dua-duanya lagi kuliah dari rumah) untuk memasang AC di rumah. "Tetangga kiri kanan sudah pada pasang AC, cuma rumah kita aja yang enggak pasang AC", demikian argumen mereka.
Saya menolak ide itu. Rumah kami di kota Bogor, dengan desain "terbuka" tak ada sekat, angin dengan leluasa keluar masuk rumah, jadi tak alasan kepanasan di dalam rumah, apalagi kalau malam.
Alasan kedua, karena seharusnya semakin panjang perjalanan hidup, kita makin bijaksana dengan uang. Kita musti mengerti konsekuensi dari barang atau asset yang kita beli.
Kemarin hal ini saya bahas di kelas Terbuka "Pajakmu adalah Pajakku" yang digelar oleh BHR Academy. Lumayan seru, pesertanya 50 orang dari nyaris semua perusahaan asuransi di Indonesia.
Saya bilang ", Asal muasal Perencanaan Waris adalah Perencanaan Pajak. Awal mula Perencanaan Pajak adalah Perencanaan Asset. Karena beda Asset beda (konsekuensi) Bea dan pajaknya".
Makanya, ada rencana kelas ini akan berlanjut pada kelas Perencanaan Asset, InsyaAllah mulai Januari tahun 2021. Dalam seri "Hartamu bukan Hartamu" dan "Pajakmu adalah Pajakku".
Balik lagi ke AC. Memiliki AC di rumah kami tak akan banyak menambah produktivitas, sebaliknya akan memberi beban tambahan tagihan listrik. Itu konsekuensinya.
Padahal mustinya kita hidup musti lebih banyak "saving dan investing" ketimbang "spending". Apalagi spending hanya karena dipicu "tetangga bisa, kita nggak bisa".
Maka, lahirlah ide membuat PLTS ini yang alih-alih menambah beban, justru mengurangi beban. Betul akan ada investasi, tapi ini investasi jangka panjang.
Sekarang, dengan kekuatan 800 Wattpeak, saya bisa menghidupkan PC, Laptop anak-anak dan TV nyaris 24 jam tanpa pakai listrik PLN. Itu artinya menghemat energi sekitar 1,8an-2 KWh per hari. Kalau harga per Kwh sekitar Rp 1.500,- maka hemat sekitar Rp 3.000 per hari, atau Rp 90.000 per bulan. Untuk keluarga dengan tagihan listrik -biasanya- Rp 450ribu per bulan, penghematan itu lumayan.
Apalagi dibantu oleh keajaiban dunia ke 8 yang namanya "Compounding", Rp 100ribu per bulan akan jadi Rp 20 juta sepuluh tahun lagi. Lumayan kan?
"Sejak CFP Bapak jadi pelit dan banyak perhitungan", Demikian Komentar anak saya sambil bercanda.
Walaupun pelit dan perhitungan itu berbeda bumi langit, tapi tak apa mendapat sebutan itu.
Daripada tampilan di medsos ala selebgram, tapi di kehidupan nyata ekonominya mirip kapal karam. Pose ala Sultan tapi dompetnya ngos-ngosan.
Kan malah runyam.
Comments
Post a Comment