Skip to main content

TUGAS KITA MENYALAKAN LILIN, BUKAN MEMBAKAR KANTOR

Bukan, bukan hendak menulis soal aksi tanggal 4 November kemarin. Saya tak punya kapasitas, pengetahuan saya terbatas. Mau disebut tak taat, sekuler...terserah saja. Label tak terlalu penting buat saya.

Saya mau menulis hal lain, yang langsung atau tak langsung tekait dengan 411 kemarin dan keseharian kita. Semacam curhat soal media, dunia yang saya pernah tahu.

Di beberapa grup whatsapp beredar ajakan, atau semacam "agitasi" untuk memboikot, menutup beberapa media yang dianggap tidak pro kelompok tertentu, tidak senafas. Saya pikir anda semua tahu media apa itu. Bahkan ada yang terangan copas sebuah pesan, ajakan untuk membakar kantor media-media itu. Mengerikan.

Tahun 1994-1998 saya pernah bekerja di Republika. Sebuah koran yang digadang-gadang bisa menjadi "pembela" umat islam. Saat diluncurkan, pak BJ Habibie mendeklarasikan "Oplah Satu Juta Eksemplar". Dengan "potensi pasar" di atas 100 juta orang islam yang mampu membeli koran, serta kekuatan ICMI waktu itu, sebenarnya cita-cita pak Habibie itu tak muluk-muluk. Kompas saja waktu itu oplahnya sudah sekitar 600ribuan eksemplar per hari.

Republika bukan digawangi oleh wartawan dengan standar jurnalisme ecek-ecek. Standar tinggi. Saat ini sebagian besar dari mereka sudah berdiaspora, menjadi pimpinan media-media besar di Indonesia. Artinya, secara produk, Republika juga kelas wahid.

Team penjualannya dikelola oleh orang-orang yang mumpuni di bidangnya. Jaringan keagenan profesional seluruh nusantara langsung terbentuk. Distribusi koran Republika dari Sabang sampai Merauke, ditambah kekuatan jaringan -kami menyebutnya- "agen ICMI" : anggota/pengurus ICMI di daerah yang mengambil hak keagenan Republika. Dan hanya pengelola yang "jago" yang bisa memastikan koran beredar di seluruh nusantara, pada hari yang sama : setiap hari sepanjang tahun.

Belum lagi team iklan yang tak kurang hebatnya memastikan penjualan ruang iklan banyak terjual, agar kami semua bisa gajian, terima bonus serta tak pincang secara operasional.

Saya memutuskan "resign" dari Republika tengah tahun 1998 setelah merampungkan tugas saya "membangun" Tabloid ADIL, yang sempat fenomenal pada zaman itu, zaman orde baru.

Saat saya tinggalkan, oplah Republika "tak lebih" dari 150 ribu eksemplar. Jauh banget dari cita-cita satu juta eksemplar. Namun anehnya, menurut survey AC Nielsen (sekarang Nielsen Media Research), tingkat keterbacaan Republika cukup tinggi. Kalau Kompas per eksemplar ya rata-rata dibaca 4 orang, Republika dibaca 5-6 orang. Rupanya teman-teman saya lebih suka membaca, namun tak suka membeli koran. Terbukti oplahnya tak kunjung naik. Saya kira, sekarang oplahnya tak akan lebih dari 100ribu eksemplar.

Belum lagi persoalan yang banyak tak terselesaikan -barangkali sampai sekarang- adalah piutang macet di beberapa oknum "agen-agen ICMI". Suatu kali, saya pernah diminta menagih ke salah satu oknum agen ICMI di Purwokerto, tahun 1995. Hutangnya saat itu, saya ingat, sekitar Rp 130 juta. Jumlah hutang besar, karen jumlah pelanggannya banyak, namun agen ini tak pernah setor hasil penjualan. Hari Kamis saya datang menagih, mungkin karena "shock" ditagih, hari Minggunya agen tersebut meninggal dunia. Dan hutang itu didiamkan begitu saja, tak ada yang bisa bertanggungjawab. Mungkin sudah diputihkan, entahlah.

Iklan tentu sulit bekerja dengan oplah "segitu". Pengiklan butuh "readership". Kalau iklan tak banyak, bagaimana ada banyak uang yang cukup untuk menyejahterakan karyawannya? Maka tak heran, tahun 2002, sebagian "pentolan" Republika hijrah ke Koran Tempo, sewaktu Koran Tempo mau terbit, tentu salah satu ya karena "imimg-iming" gaji yang lebih baik.

Republika seperti kesepian di tengah cita-citanya menyampaikan berita yang memiliki "nafas" islami. Apalagi melihat jutaan peserta aksi kemarin, saya makin merasa Republika sangat kesepian.

Dan kini, muncul ajakan menutup, memboikot, bahkan membakar kantor beberapa media. Republika hanya memiliki ratusan pegawai, tapi bayangkan Metro+Media Indonesia grup mereka memiliki ribuan karyawan, Kompas Gramedia Grup (masuk di dalamnya Harian Kompas, Kompas TV dan penerbit Gramedia) bahkan kabarnya memiliki 22 ribu karyawan.

Saya tak memiliki saham atau kepentingan apapun di media-media itu. Tapi saya memiliki teman-teman, setahu saya, muslim serta muslimah taat yang bekerja di sana. Mereka bekerja di sana karena TAK MEMILIKI pilihan lain selain bekerja di sana. Kebayang kalau kantor mereka ditutup, dibakar : bagaimana nasib mereka beserta keluarganya?

Mungkin...sekali lagi mungkin tugas kita adalah MENCIPTAKAN PILIHAN untuk mereka. Kita bersatu tangan, membangun media-media besar yang sesuai dengan "nafas" kita. Mosok sih ngga bisa? Kita yang katanya "satu nafas" urunan, bikin koran, TV, pabrik-pabrik yang bisa menjadi alternatif, menjadi kompetitor kuat produk yang diaggap tak senafas. Kita sejahterakan karyawan-karyawan kita, sehingga mereka tak melirik lapangan kerja selain yang kita sediakan.

Media -media yang tak dianggap senafas itu juga akan mati dan tutup dengan sendirinya kok, tak perlu diboikot ata dibakar kantornya : kalau muncul pesaing media yang dikelola dengan profesional serta dengan "pasar captive" yang fanatik...kita-kita ini, yang satu "nafas".

Mengutuk gelap itu mudah, tapi membuat lilin serta menjaganya tetap menyala terang yang sulit. Namun : SULIT BUKAN BERARTI TAK MUNGKIN.

**) Disclaimer, bukan sedang jualan Republika. Sekedar menyerukan suara hati teman-teman yang saat ini masih bekerja di Republika, Kelompok Kompas dan Media Indonesia+Metro TV Grup.

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG