"Alhamdulillah
Dik, Ibu kemarin sudah salurkan santunan untuk anak yatim dari titipan
kalian dan hasil bikin pesanan kue", kata Ibu saya dalam pesan pendek
via whatsapp kemarin sore.
Ibu saya (sebelah kiri) biasa memanggil saya Didik. Sepeninggal almarhum Bapak tahun 2006, beliau memilih tinggal sendiri di Semarang bersama Ma'e. Ma'e adalah orang yang ikut mengasuh kami (saya dan 3 adik, lelaki semua) sejak kecil. Dalam foto ini, Ma'e ada di sebelah kanan. Ibu kini berusia 67 tahun dan hidup sebagai pensiunan yang bahagia.
Sudah menunaikan ibadah haji, mandiri secara ekonomi. Bapak meninggalkan pada kami sebuah rumah sederhana di Semarang, sebuah motor (yang belakangan dijual karena menuh-menuhin ruang tamu dan tak ada diantara kami yang mau membawa motor itu) dan sejumlah tabungan. Semua untuk Ibu, karena -alhamdulillah- kami semua sudah cukup mandiri secara ekonomi, cukupan, tak mau mengutak-utik tabungan Bapak. Almarhum Bapak tak meninggalkan hutang atau cicilan, sama sekali.
Ibu sejak muda bekerja, pegawai biasa di Pemkot Semarang dan ketika pensiun menikmati "passion" nya membuat kue-kue "kampung" bersama Ma'e, dan tentu travelling. Bersama teman pengajian, sesama anggota senam jantung sehat atau kawan arisan.
Sejak adik saya membelikan beliau smartphone android yang dipasang aplikasi whatsapp, beliau jadi makin rajin bertukar kabar. Bahkan ikut grup whatsapp kami -anak dan menantunya- namanya "Happy Family".
Dalam tiga bulan terakhir, setidaknya sudah empat teman akrab saya ketika kuliah meninggal dunia. Ada yang terkena kanker, ada yang stroke. Ajal memang tak kenal umur. Dari foto keluarga mereka yang dikirim teman lain di grup whatsap, kelihatan anak-anak yang ditinggalkan masih kecil dengan istri yang tak bekerja.
Lalu beberapa teman mulai sigap menggalang dana simpati, yang besarnya "tak seberapa" serta pasti tak cukup untuk menggantikan penghasilan suami yang meninggal. Belum lagi bila ada hutang.
Hal tersedih yang saya pikirkan adalah, saya tak berhasil membantu dan meyakinkan mereka saar hidupnya untuk menyiapkan warisan yang cukup bagi anak istrinya, padahal justru pada orang lain saya bisa melakukannya. Ini jadi curhat, kadang-kadang mereka mentertawakan ketika saya mulai bercerita soal persiapan dana warisan. "Asuransi? Warisan? Lo mau doain gue mati",kata mereka (mungkin bercanda). Padahal tanpa dido'ain juga pasti mati.
Tak jarang justru istri-istri mereka yang menghalangi. Buat apa nyiapin warisan, ngurangin duit belanja aja. Itu yang sering saya dengar.
Saya sedih, tapi tak bisa memaksa. Tak bisa bilang apa-apa (lagi).
Inilah yang menjadi pelipur lara, foto Ibu dan Ma'e di satu kedai kopi di Terminal 3 Bandara Soetta beberapa waktu lalu ketika akan pulang ke Semarang lepas sebulan berkeliling menengok cucunya di Bogor, Serpong dan Jakarta.
"Tehnya enak, beda sama teh di rumah", kata Ibu saya menyeruput teh chamomile yang dipesannya. Senang saya melihat senyumnya. Senyum seorang Ibu, wanita yang sejahtera, bahagia dan mandiri di hari tuanya.
Dan kata statistik, di Indonesia, hanya 12% orang tua yang seberuntung ibu saya.
Ibu saya (sebelah kiri) biasa memanggil saya Didik. Sepeninggal almarhum Bapak tahun 2006, beliau memilih tinggal sendiri di Semarang bersama Ma'e. Ma'e adalah orang yang ikut mengasuh kami (saya dan 3 adik, lelaki semua) sejak kecil. Dalam foto ini, Ma'e ada di sebelah kanan. Ibu kini berusia 67 tahun dan hidup sebagai pensiunan yang bahagia.
Sudah menunaikan ibadah haji, mandiri secara ekonomi. Bapak meninggalkan pada kami sebuah rumah sederhana di Semarang, sebuah motor (yang belakangan dijual karena menuh-menuhin ruang tamu dan tak ada diantara kami yang mau membawa motor itu) dan sejumlah tabungan. Semua untuk Ibu, karena -alhamdulillah- kami semua sudah cukup mandiri secara ekonomi, cukupan, tak mau mengutak-utik tabungan Bapak. Almarhum Bapak tak meninggalkan hutang atau cicilan, sama sekali.
Ibu sejak muda bekerja, pegawai biasa di Pemkot Semarang dan ketika pensiun menikmati "passion" nya membuat kue-kue "kampung" bersama Ma'e, dan tentu travelling. Bersama teman pengajian, sesama anggota senam jantung sehat atau kawan arisan.
Sejak adik saya membelikan beliau smartphone android yang dipasang aplikasi whatsapp, beliau jadi makin rajin bertukar kabar. Bahkan ikut grup whatsapp kami -anak dan menantunya- namanya "Happy Family".
Dalam tiga bulan terakhir, setidaknya sudah empat teman akrab saya ketika kuliah meninggal dunia. Ada yang terkena kanker, ada yang stroke. Ajal memang tak kenal umur. Dari foto keluarga mereka yang dikirim teman lain di grup whatsap, kelihatan anak-anak yang ditinggalkan masih kecil dengan istri yang tak bekerja.
Lalu beberapa teman mulai sigap menggalang dana simpati, yang besarnya "tak seberapa" serta pasti tak cukup untuk menggantikan penghasilan suami yang meninggal. Belum lagi bila ada hutang.
Hal tersedih yang saya pikirkan adalah, saya tak berhasil membantu dan meyakinkan mereka saar hidupnya untuk menyiapkan warisan yang cukup bagi anak istrinya, padahal justru pada orang lain saya bisa melakukannya. Ini jadi curhat, kadang-kadang mereka mentertawakan ketika saya mulai bercerita soal persiapan dana warisan. "Asuransi? Warisan? Lo mau doain gue mati",kata mereka (mungkin bercanda). Padahal tanpa dido'ain juga pasti mati.
Tak jarang justru istri-istri mereka yang menghalangi. Buat apa nyiapin warisan, ngurangin duit belanja aja. Itu yang sering saya dengar.
Saya sedih, tapi tak bisa memaksa. Tak bisa bilang apa-apa (lagi).
Inilah yang menjadi pelipur lara, foto Ibu dan Ma'e di satu kedai kopi di Terminal 3 Bandara Soetta beberapa waktu lalu ketika akan pulang ke Semarang lepas sebulan berkeliling menengok cucunya di Bogor, Serpong dan Jakarta.
"Tehnya enak, beda sama teh di rumah", kata Ibu saya menyeruput teh chamomile yang dipesannya. Senang saya melihat senyumnya. Senyum seorang Ibu, wanita yang sejahtera, bahagia dan mandiri di hari tuanya.
Dan kata statistik, di Indonesia, hanya 12% orang tua yang seberuntung ibu saya.
Comments
Post a Comment