Dengan kursi roda yang didorong oleh cucunya, Angga, nenek Darmina memasuki ruang sidang dengan badan gemetar. Tak terbayang di usianya yang ke 78, dalam deraan osteoporosis akut dia harus menghadapi sidang gugatan waris dari anak-anaknya sendiri.
Ibu, atau Nenek, Darmina tentu hidup bahagia saat almarhum suaminya masih ada bersama empat anak perempuan dan satu anak lelakinya (yang belakangan meninggal duluan sebelum ayahnya).
Beberapa bidang tanah di sekitar kampungnya mereka miliki, termasuk 3 bidang tanah seluas 12 meter persegi yang belakangan menjadi obyek sengketa waris.
Situasi berubah saat almarhum suami Nenek Darmina meninggal pada April 2019.
Sebelum meninggal, almarhum berwasiat : sepeninggalnya kelak anah yang dimilikinya jangan dijual, supaya bisa jadi modal untuk kehidupan anak dan cucunya kelak. Pesan yang mulia.
Tapi dari sisi Hukum Waris (Islam) bolehlah berwasiat seperti itu? Jawabannya : Boleh. Karena ketentuan wasiat dalam Hukum Islam adalah tidak boleh membagi harta dalam bentuk wasiat melebihi 1/3 harta dan tak boleh harta wasiat itu diberikan kepada ahli waris.
Lalu bagaimana bisa dibagi kalau tanah itu tak dijual? Ya, harus disepakati nilai tanahnya dulu, karena membagi Harta Waris bukanlah membagi Fisik, namun membagi Nilai Harta.
Bila tanahnya yang dibagi tak seimbang nilainya, harus ada pihak yamg saling menyeimbangkan nilainya. Membayar kelebihan dan menerima selisih karena kekurangan.
Sepeninggal almarhum, nenek Darmina hidup "menumpang" pada cucunya. Plus, memegang hak atas 3 bidang tanah seluas 12ribu meter persegi yang belum dibagikan pada ahli waris.
Tentu kalau 12ribu meter persegi tanah itu senilai 1/8 harta almarhum, tak jadi masalah. Namun tidak demikian halnya kenyataannya.
Ditambah lagi, tanah itu sudah dijual sang cucu dengan alasan dia butuh (banyak) biaya untuk membiayai pengobatan nenek yang dirawatnya.
Sekilas, ditinjau dari sisi kemanusiaan dan etika memang kelihatannya wajar saja. Tapi mengapa jadi sengketa? Karena pembagian warisnya tak dilakukan sebagaimana aturan sebenarnya.
Mungkin, kalau almarhum dulu tahu, bahwa ada instrumen keuangan yang bernama Kontrak Pertanggungan yang bisa memberikan manfaat uang tunai pada istrinya langsung, kejadiannya tak akan seperti ini.
Semua harta harus dibagi sesuai hukum waris, Nenek Darmina mendapat 1/8 bagian, anak-anak mendapat sesuai porsinya. Nenek Darmina bisa meneruskan hidup dari uang pencairan manfaat kontrak pertanggungan (asuransi jiwa suaminya).
Tapi apa daya, nasi sudah jadi kerak gosong.
Anak harus berhadapan dengan Emak di sidang sengketa waris. Dari sisi etika tentunya tak etis, tapi dari sisi hukum, anak-anak punya hak. Apalagi bicara Hukum Waris Islam, hak anak Yatim yang ditinggal jelas diatur dalam QS An Nisa' ayat 2, 5, 7, 9 dan 10.
Harta yang -pengennya- ditinggalkan jadi berkah, endingnya malah jadi masalah.
Comments
Post a Comment