Masih suka melihat ada yang teman yang "kritis" banget mempersoalkan hutang luar negeri, atau hutang kita ke luar negeri?
Baiklah saya mau cerita sedikit. Saya jualan kopi. Ada keinginan saya memperbesar usaha, katakan menambah jumlah outlet. Karena dengan menambah outlet, maka saya berpotensi menambah perputaran uang usaha (otomatis dampak ekonomi nambah) juga nambah karyawan... alias mengurangi pengangguran.
Tapi saya tak memiliki cukup uang atau modal untuk membangun -misalnya- 10 outlet sekaligus. Karena membangun 10 outlet langsung, dibandingkan dengan membangun 1 outlet kerepotannya sama tapi biaya per unitnya bisa lebih murah (karena borongan). Saya harus cari uang dari luar perputaran usaha saya.
Cara cari uangnya bisa dalam bentuk : jual (saham) kepemilikan, jual surat hutang atau pinjam ke pihak lain.
Jual saham, artinya mengurangi "kekuatan" saya mengatur usaha. Apalagi kalau ketemu pemodal besar yang siap ambil porsi besar. Saya belum siap.
Membuat surat hutang (obligasi), saya butuh reputasi. Sedangkan usaha saya belum cukup punya reputasi, sehingga tak ada orang yang mau menjamin dan mau begitu saja percaya beli surat hutang saya.
Satu-satunya jalan saya pinjam uang. Bisa ke bank, bisa ke "orang lain".
Tapi bank belum tentu ada duit. Data per Februari 2020, menggambarkan LDR bank-bank yang ada di indonesia ada di angka 92,5%. Artinya kalau di atas kertas ada uang yang disimpan nasabah di bank Rp 100, realitanya di dalam bank hanya ada duit Rp 7,5 karena Rp 92,5 nya sudah tersalur dalam bentuk aneka rupa pinjaman dan kredit. Kenapa LDR-nya setinggi itu, karena "minat" kita menabung rendah. OJK bilang hanya sekitar 60% penduduk negeri +62 yang punya rekening, itu pun catatan ada 0,03% rekening "menguasai" 47,5% total saldo di perbankan.
Pun kalau bank punya duit untuk dipinjamkan, bunganya juga tinggi, persyaratan tidak mudah... dan bahkan harus ada agunan. Kenapa bank mengenakan bunga tinggi pada peminjam? Selain cari keuntungan, bank juga musti mati-matian merayu nasabah dan calon nasabah untuk rajin menabung dengan iming-iming bunga tinggi.
Maka demi kelangsungan rencana saya bikin outlet kopi baru, saya cari sumber duit lain. Maka, mengalirkah uang dari luar negeri berbentuk hutang, karena -mungkin- persyaratan imbal baliknya lebih lunak. Jadi ini soal supply-demand biasa. menurut SULNI - BI (Statistik Utang Luar Negeri Indonesia-Bank Indonesia) Januari 2020 : Total Hutang luar negeri kita USD 401 Milyar, yang separuhnya adalah utang swasta.
Maka bayangkan kalau misalnya penduduk +62 sadar menabung, sadar berinvestasi, maka duit dari luar negeri tak perlu masuk ke sini.
Maka, di kelas kemarin -ketika ngomong soal investasi- saya membuat piramida segmentasi. Dan, orang pikir segmentasi itu soal kepemilikan duit... ternyata BUKAN.
Segmentasi itu soal MINDSET, CARA BERFIKIR. Ada orang duitnya banyak namun yang dicari, dibaca dan diingat adalah kabar, berita serta aneka pengalaman buruk. Bahkan kadang itu pengalaman buruk orang lain (yang mungkin mendapat pengalaman buruk sebab "kurang pengetahuan").
Ribut soal hutang luar negeri, tapi nggak punya uang di tabungan, nggak ada investasi (biasanya karena nggak ngerti-atau nggak mau ngerti), tapi kerjaan jadi analis ekonomi di facebook.
Gimana coba?
Baiklah saya mau cerita sedikit. Saya jualan kopi. Ada keinginan saya memperbesar usaha, katakan menambah jumlah outlet. Karena dengan menambah outlet, maka saya berpotensi menambah perputaran uang usaha (otomatis dampak ekonomi nambah) juga nambah karyawan... alias mengurangi pengangguran.
Tapi saya tak memiliki cukup uang atau modal untuk membangun -misalnya- 10 outlet sekaligus. Karena membangun 10 outlet langsung, dibandingkan dengan membangun 1 outlet kerepotannya sama tapi biaya per unitnya bisa lebih murah (karena borongan). Saya harus cari uang dari luar perputaran usaha saya.
Cara cari uangnya bisa dalam bentuk : jual (saham) kepemilikan, jual surat hutang atau pinjam ke pihak lain.
Jual saham, artinya mengurangi "kekuatan" saya mengatur usaha. Apalagi kalau ketemu pemodal besar yang siap ambil porsi besar. Saya belum siap.
Membuat surat hutang (obligasi), saya butuh reputasi. Sedangkan usaha saya belum cukup punya reputasi, sehingga tak ada orang yang mau menjamin dan mau begitu saja percaya beli surat hutang saya.
Satu-satunya jalan saya pinjam uang. Bisa ke bank, bisa ke "orang lain".
Tapi bank belum tentu ada duit. Data per Februari 2020, menggambarkan LDR bank-bank yang ada di indonesia ada di angka 92,5%. Artinya kalau di atas kertas ada uang yang disimpan nasabah di bank Rp 100, realitanya di dalam bank hanya ada duit Rp 7,5 karena Rp 92,5 nya sudah tersalur dalam bentuk aneka rupa pinjaman dan kredit. Kenapa LDR-nya setinggi itu, karena "minat" kita menabung rendah. OJK bilang hanya sekitar 60% penduduk negeri +62 yang punya rekening, itu pun catatan ada 0,03% rekening "menguasai" 47,5% total saldo di perbankan.
Pun kalau bank punya duit untuk dipinjamkan, bunganya juga tinggi, persyaratan tidak mudah... dan bahkan harus ada agunan. Kenapa bank mengenakan bunga tinggi pada peminjam? Selain cari keuntungan, bank juga musti mati-matian merayu nasabah dan calon nasabah untuk rajin menabung dengan iming-iming bunga tinggi.
Maka demi kelangsungan rencana saya bikin outlet kopi baru, saya cari sumber duit lain. Maka, mengalirkah uang dari luar negeri berbentuk hutang, karena -mungkin- persyaratan imbal baliknya lebih lunak. Jadi ini soal supply-demand biasa. menurut SULNI - BI (Statistik Utang Luar Negeri Indonesia-Bank Indonesia) Januari 2020 : Total Hutang luar negeri kita USD 401 Milyar, yang separuhnya adalah utang swasta.
Maka bayangkan kalau misalnya penduduk +62 sadar menabung, sadar berinvestasi, maka duit dari luar negeri tak perlu masuk ke sini.
Maka, di kelas kemarin -ketika ngomong soal investasi- saya membuat piramida segmentasi. Dan, orang pikir segmentasi itu soal kepemilikan duit... ternyata BUKAN.
Segmentasi itu soal MINDSET, CARA BERFIKIR. Ada orang duitnya banyak namun yang dicari, dibaca dan diingat adalah kabar, berita serta aneka pengalaman buruk. Bahkan kadang itu pengalaman buruk orang lain (yang mungkin mendapat pengalaman buruk sebab "kurang pengetahuan").
Ribut soal hutang luar negeri, tapi nggak punya uang di tabungan, nggak ada investasi (biasanya karena nggak ngerti-atau nggak mau ngerti), tapi kerjaan jadi analis ekonomi di facebook.
Gimana coba?
Comments
Post a Comment