Skip to main content

NAMANYA MURVEN


Bagaimana sosok seorang pemandu wisata yang biasa anda bayangkan atau pernah anda temui? Rata-rata menggambarkannya sebagai sosok yang ramah, kooperatif serta menurut pada kemauan tamu yang dibawanya.

Namanya Murven. Dia adalah pemandu wisata yang menemani kami selama 10 hari berkeliling Turki, tahun lalu. Dan dia adalah pemandu wisata yang mematahkan bayangan anda di atas.

Januari 2018 lalu, kami mendapat rezeki bisa berkeliling negara Turki. Berkeliling dalam arti yang sebenarnya, karena selama sepuluh hari kami setidaknya menyinggahi tujuh Provinsi yang ada di sana.

Mendarat di Istanbul yang berada di sisi Eropa, kami menjelajahi -mungkin separo- wilayah Turki di sisi Asia sejak dari Bursa yang masih bersalju tebal, Izmir yang terletak di tepi laut Aegea, Makam Maulana Jalalludin Rumi di Konya, berniat naik balon terbang tapi gagal di Cappadochia, menyaksikan Pesantren tertua di Turki di kota Amasya, serta pulang ke Istanbul melewati Ankara yang adalah ibu kota pemerintahan Turki.

Stamina Murven tidak sedikitpun kendor sejak kami tiba, hingga kami sampai lagi di Bandara Ataturk Internasional untuk kembali ke Jakarta.

Kata-katanya yang selalu saya ingat saat akan mulai bercerita tentang sejarah kota atau situs yang akan kami kunjungi adalah "Ini Turki, tidak semua yang anda dengar tentang Turki itu benar. Turki adalah...bla..bla..", katanya, dan dia mulai bercerita tentang Turki : politik, sejarah, pemerintahan tanpa lelah, walau sebagian besar peserta terlelap di bis. Saya pikir dia lebih tepat menjadi seorang propagandis ketimbang pemandu wisata.

Oh ya, Murven bukanlah pemandu wisata yang manis. Dia ramah, sangat ramah. Tetapi kalau sudah berurusan dengan disiplin waktu : dia keras. Latar belakangnya sebagai tentara di Turki tentu sangat mempengaruhi itu.

Hari pertama, kami menginap di sebuah hotel di kota Istanbul. Menjelang masuk ke hotel, saat check ini, Murven mengingatkan dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata", Bapak dan Ibu, kita akan makan malam pukul 7 malam, tepat. Karena restoran sudah di-booking pada jam tersebut".

Seperti biasa, entah tak mendengar atau memang budaya jam karet, pukul 7 hanya kami sekeluarga (berempat) beserta 8 orang dari total 22 orang yang sudah berada di bis, lainnya terlambat.

"Yang terlambat, kita tinggal. Karena kita sudah punya konsensus",kata Murven. Walhasil, sepuluh orang yang tertinggal kelimpungan. Walaupun akhirnya dibungkusin juga, ini membuat efek jera.

Sejak itu : mulai hari pertama hingga perjalanan terakhir, tak ada lagi peserta yang molor dan ngaret. Perjalanan berjalan mulus selama sepuluh hari.

Orang seperti Murven masih jarang kita temui di Indonesia, itu kenapa budaya "jam karet" masih sangat menjamur. Karet kok menjamur.

Kita cenderung memberi toleransi pada orang yang terlambat, sehingga kondisinya agak ironis : Yang tepat waktu menunggu yang terlambat. Yang datang terlambat juga tak merasa ada yang salah karena dia ditunggu.

Lebih buruk lagi, karena kebiasaan terlambat ini tumbuh dalam keluarga. Suami memberi contoh pada istri, istri memberi teladan pada anak. Dan keluarga macam ini bila bepergian atau berada dalam sebuah rombongan/team mereka menjadi beban berat bagi rombongan atau teamnya.

Repotnya, yang jadi beban ini tak merasa jadi beban. Apakah anda mengalami hal yang sama ?

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG