"Mas, itu bu Eri yang punya rumah sebelah kontak lagi. Tadi nawarin, kalau misalnya mau, rumah sebelah ditawarin ke kita harga spesial. Rp XXX juta saja. Daripada kosong katanya", Kata istri saya dua hari lalu.
Kami tinggal di komplek-komplekan yang bukan dibangun oleh developer. Hanya tanah kavlingan yang dibangun masing-masing oleh pemiliknya. Jadinya modelnya belang-blentong beda-beda, sesuai kemampuan ekonomi dan level cita rasa estetika masing-masing.
Sebelah rumah saya, dulu ditinggali oleh Pak dan bu Eri. Tapi sudah sejak lima tahun lalu, rumah itru dibiarkan kosong karena mereka pindah ke rumah mereka yang lain di Kawasan Gadog, Puncak-Bogor. Dan bolak-balik beliau tawarkan pada kami.
"Memiliki rumah lagi, tidak ada dalam "Perencanaan Asset" kita kan",Jawab saya pada istri.
Anda sudah tahu (situasi) silsilah keluarga saya di sini : http://www.basriadhi.com/…/02/contoh-hitungan-hukum-waris.h…
Saya termasuk orang tua yang memiliki pikiran bahwa setiap anak memiliki rezekinya sendiri. Dia harus bekerja untuk apa yang mereka ingin miliki. Tugas kami hanya mengantar dan melatih sampai kaki mereka kuat berdiri sendiri. Maka menyiapkan asset (dan bahkan Uang Pertanggungan Asuransi) agar mereka bisa "sejahtera" bukan "gue banget".

Perencanaan Uang Pertanggungan Asuransi kami mengalokasikan untuk "Dana Meneruskan Hidup Secukupnya" dan Sisanya untuk "Biaya Pembebasan Harta".
Per hari ini, bila misalnya "panggilan ke Balik Papan" itu datang, agar rumah yang saya dan istri tempati menjadi hak istri saya sepenuhnya : dia harus mengeluarkan "Biaya Pembebasan Harta" nyaris sebesar 95% dari Nilai Ekonomi /Harga jual Rumah itu.
"Daripada buat beli rumah lagi, perlu biaya pembebesana harta lagi : mendingan uangnya kita pakai jalan-jalan saja, ngisi Instagram kita dan anak-anak",kata saya sambil tertawa.
"Nggak masalah kita kelihatan seperti nggak punya apa-apa. yang penting pengalaman dan wawasan kita luas, mampu bayar premi asuransi : daripada (kelihatannya) harta banyak tapi kalau ngobrol sering nggak nyambung, posting di fesbuk receh melulu dan diajarin soal Perencanaan Waris bilangnya Cicilan lagi banyak", Sambung saya.
Kelihatan miskin, jauh lebih baik daripada kelihatannya kaya. Banyak orang memiliki prinsip "Fake It, until You Make It". Berpura-pura (kaya) sampai Jadi (kaya) beneran. "Akhirnya nggak nyampe-nyampe, karena berbohong pada diri sendiri", Tutup saya.
Istri saya juga tertawa. Dia tahu banget bahwa Hartaku bukan Hartaku. Hartanya bukan Hartanya.
Comments
Post a Comment