Skip to main content

HIDUP UNTUK MEMUDAHKAN

Dari empat penginapan yang kami di tempati (di Tokyo, Kanazawa, Osaka dan Nagoya) kebetulan menerapkan aturan check-in dan check-out yang sama. Check in jam 15, dan Check out 10 pagi.

Untuk traveller kelas "geret koper" ini agak menyusahkan, karena rata-rata kami baru masuk penginapan sore atau malam dan pagi belum sempat ke mana-mana sudah harus check out.

Namun jangan khawatir, ada solusi.

Ini contohnya, di Nagoya. Kami berangkat dari Osaka menuju Nagoya ketika hari sudah sore. Sampai di Nagoya pukul 16, kami hanya sempat meletakkan barang karena bis kota menuju Nabana no Sato (semacam Kebun Raya di pinggiran kota Nagoya) sudah menunggu. Tiket bus sudah dipesan sebelumnya via internet.

Kami masuk kamar lagu sudah pukul 21.00, jalanan sudah sepi karena memang sejak sore kota Nagoya diguyur hujan. Sedangkan kami merencanakan berkunjung dan belajar ke "Meijo" atau Nagoya Castle.

Saya pernah cerita tentang Meijo yang merupakan Istana di Tengah Parit, seperti judul buku saya. Disamping ada sejarah soal Samurai di sana.

Maka, itu masuk dalam kategori "Must Visit Site" di itinerari kami.

Pilihannya, kami memperpanjang masa tinggal di penginapan (artinya harus keluar uang ekstra besar untuk itu) atau kita bawa koper sampai ke Meijo.

Kami memutuskan mengambil pilihan kedua, membawa koper atas pertimbangan bujet.

Namun ada sedikit masalah : hari itu Nagoya hujan dan dari internet kami tahu bahwa halaman Meijo itu menggunakan batu kerikil, bukan semen keras. Artinya roda koper akan sulit bergerak, ambles.

Dan kamu menemukan solusi ini : loker berbayar.

Di semua stasiun di Jepang, banyak tersedia loker berbayar ini dengan berbagai macam ukuran dan harga sewa.

Karena masing-masing dari kami membawa koper ukuran sedang (ukuran 24), kami memutuskan mengambil empat loker sesuai ukuran koper itu dengan harga sewa 600 yen per loker, per 24 jam.

Tentu ini jauh lebih murah dari harga sewa kamar di penginapan.

Maka jadilah kami hari itu melenggang di Meijo, di tengah hujan rintik tanpa harus "menggembol" koper dan tanpa takut "harta" kami hilang.

Saya kira ada pelajaran yang bisa kita ambil dari sana.

Pertama, saya salut pada orang-orang yang memiliki ide menyediakan loker itu di stasiun-stasiun. Ide mereka memudahkan hidup orang lain, semoga mereka masuk sorga karena ide mereka itu, sementara hidup kami yang relijiyes ini justru lebih sering nyusahin orang lain. Bukan cuma nyusahin orang yamg masih hidup, orang yang sudah meninggal saja dibikin susah.

Kedua, saya belajar soal mengamankan uang besar dengan uang kecil. Isi koper selain baju, juga pesanan orang di kampung. Bisa saja kami harta itu kami "kekepin" ke mana-mana. Tapi selain repot kan nggak aman.


Dengan uang kecil, uang besar kami aman. Kami bisa jalan-jalan tetap dengan perasaan "peace of mind".

Persis seperti perasaan tak khawatir saat sakit harus menguras tabungan, atau saat meninggal keluarga kelimpungan karena tak cukup ada warisan buat melanjutkan hidup. Cukup dengan uang kecil, untuk melindungi uang besar.

Nyambung kan?

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG