“Pak, paparan yang Bapak sampaikan tadi kan sifatnya Teori pak. Kebutuhan kita kan nggak bisa diprediksi, sementara gaji kan relatif tetap. Kadang sudah berusaha nabung, eh anak sakit. Tabungan jadi terpakai. Apakah dalam dunia nyata ada yang benar-benar bisa menjalani hidup “Menyisihkan, bukan Menyisakan”? Tanya seorang Bapak, dalam sesi Coaching Clinic di ANTV kemarin.
Oh ya, saya pernah menulis tentang tiga golongan manusia : menyisihkan, menyisakan dan menyusahkan di https://goo.gl/cGaCBx
“Oke, pertanyaan menarik”,Jawab saya.
“Pernahkah Bapak pernah mendengar syair salah satu lagu artis visioner Indonesia, Bang Haji Rhoma Irama?”, Tanya saya balik. Bapak yang bertanya nampak kebingungan.
Bang Haji Rhoma pernah bilang : yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Mengapa? Bukan semata karena pendapatan mereka besar, namun karena pola pikirnya.
Orang “pura-pura kaya” akan mendorong KEBUTUHAN mereka berada satu level dengan KEINGINAN. Gaji 5 juta bisa naik ojek, begitu gaji 7.5 juta pengen naik motor. Gaji naik 10 juta, keinginannya naik lagi jadi pengen naik mobil. Terus dan terus.
Akhirnya buat orang pura-pura kaya, berapapun pendapatannya mereka, tidak akan cukup. Mengapa? Karena akan selalu ada GAP atau celah antara Keinginan dengan Pendapatan, yang akhirnya ditutup/disubsidi dengan HUTANG KONSUMTIF (bukan hutang produktif).
Karena banyaknya cicilan hutang konsumtif itu, boro-boro menyisihkan pendapatan untuk SIP (Saving, Investment, Protection). Kelihatannya wah, tapi sebenarnya keropos.
Orang ”pura-pura kaya” ini hidupnya dikendalikan uang dan akhirnya dikendalikan oleh (cita-cita) orang lain.
Lalu bagaimana dengan orang kaya?
Orang “kaya” aan mendorong PENDAPATAN mereka berada dua-tiga level di atas KEBUTUHAN, bahkan lima-enam level di atas KEINGINAN. Mereka akan mengerahkan tenaga, sumberdaya mereka yang mereka miliki untuk membuat bagaimana daya ungkit tangan dan kainy
a makin besar.
Mereka akan berhubungan dengan HUTANG untuk mendorong agar kekuatannya makin besar, sehingga mereka hanya berhubungan dengan HUTANG PRODUKTIF. Dengan hutang produktif itu mereka menambah ke
kuatan sumberdaya yang membuat pendapatan mereka menjadi lebih besar pula.

Dan catat ... pada satu titik tertentu, kebutuhan dasar manusia itu ada batasnya. Orang “pura-pura kaya” dan orang “kaya” ukuran lambung di perutnya sama. Maka, setelah dipotong kebutuhan dasar- karena perbedaan pendapatan tadi, jumlah kekayaan yang “diakumulasikan” juga berbeda. Seperti gambar.
Makin banyak yang diakumulasikan, makin “kaya” lah dia.
“Tapi mengapa harus punya produk P (Protection) pak, kalau saya sanggup mengakumulasikan kekayaan”, tanya lanjut si Bapak.

“Sehingga saat sakit, Bapak tak perlu berhutang”,kata saya. Karena walau karena sakit, hutang untuk membayar biaya perawatan itu termasuk hutang konsumtif. Hal yang bisa dihindari. Sakitnya tak bisa direncanakan, tapi perencanaan biaya perawatan bila sakit itu yang bisa direncanakan.
Maka, penting memahami konsep hutang ini. Jangan terlalu percaya omongan politisi yang hobi menggoreng hutang ini menjadi isu politik.
Nanti jadi “kaya” enggak, ikut gosong iya ...
Comments
Post a Comment