Di rumah sedang ada tukang. Dihajar hujan deras yang kerap turun dua minggu terakhir, beberapa bagian mulai bocor. Sekalian saya minta tukang pasang talang air.
Tukang bangunan langganan saya namanya pak Amin. Rumah pak Amin ada di belakang kompleks, tak terlalu jauh, namun harus ditempuh memutar lewat jalan besar karena tak ada jalan pintas. Itu kenapa pak Amin pakai motor Yamaha Mio-nya ke rumah.
"Lumayan makan waktu kalau jalan kaki pak", Dalihnya.
Tapi, sudah empat hari ini dia rada bergaya. Mio-nya sudah berganti jadi Yamaha N-Max baru warna putih. Top abis, apalagi kalau disandingkan dengan Smash Davidson saya, ibarat aqua galon vs air keran.

N-Max ini harga tunainya di Bogor sekitar Rp 26.500.000,-. Kemarin pak Amin membelinya dengan sistem mencicil melalui leasing. Dengan DP Rp 5 juta, cicilannya sekitar Rp 1,1 juta.
Artinya, pak Amin sebenarnya membayar Rp 43,5 juta untuk motor seharga Rp 26,5 juta. Bunga pinjaman motornya sekitar Rp 17,11% per tahun !
"Emangnya dulu Mio-nya rusak", Tanya saya. "Enggak sih pak, masih bagus. Ganti ini biar nge-trend aja pak, tetangga udah pada punya. Cicilannya murah ini", Jawabnya seperti bisa membaca pikiran saya.
Sambil duduk di samping pak Amin yang sedang menghisap rokok, saya bilang "Coba bayangkan, kalau sampeyan tetap pakai Mio dan uang Rp 1 juta yang sedianya buat cicilan : ditabungkan",kata saya.
Kelihatannya dia bingung.
Saya bantu dia hitung. Rp 1 juta per bulan, selama 36 bulan dimasukkan ke Reksadana Pendapatan Tetap yang resikonya moderat. Katakan imbal hasilnya 8% per tahun.
Maka di akhir tahun ke 3, tetap pakai Mio tapi Bapak punya tambahan duit Rp 40 juta.
Kelihatannya dia masih bingung. Saya maklum, jangankan pak Amin -Tukang bangunan yang SMP saja tak selesai- lha di luar sana, banyak juga sarjana yang kalau diceritain soal Investasi masih saja bingung.
Rumahnya keren, mobilnya bagus tapi kalau sudah bicara "Pembangunan Asset" cuma senyam-senyum dan bilang "Aku belum ada bujet, Bas. Cicilanku masih banyak".
Akhirnya menunda, menunda dan menunda sampai akhirnya tak sempat.
Familiar dengan cerita ini? Saya sih iya, nggak tau kalau mas Anang.
Comments
Post a Comment