“Pak, tetangga saya Menikah Siri. Apakah seorang istri yang menikah siri berhak atas waris?” Pertanyaan ini dilontarkan seorang peserta yang duduk di sayap kanan ruangan kelas.
Pertanyaan ini kerap dilontarkan peserta, hampir di semua kota kelas “Asuransi sebagai Solusi Perencanaan Waris dan Pajak”. Dan umumnya yang menanyakan adalah peserta wanita, barangkali karena di komunitas mereka ada kenalan yang melakukan pernikahan siri.
Supaya tak melebar, saya persempit konteks Pernikahan Siri. Pernikahan
siri adalah pernikahan yang dinyatakan sah menurut agama Islam karena
sudah memenuhi Lima Syarat Sah pernikahan : ada Suami, Istri, Saksi,
Wali dan Akad.
Masalahnya menjadi agak kompleks, karena dalam banyak kasus, pernikahan Siri terkait dengan Poligami. Ada persyaratan “administratif” perkawinan poligami yang harus dipenuhi sesuai pasal 3 dan 4 UU no 1 tahun 1974 (UU Perkawinan). Dimana kalau persyaratan ini tak dipenuhi, perkawinan itu tetap sah menurut agama, namun tak sah menurut negara.
Karena menurut negara tak sah, maka untuk bukti administratifnya negara tak mengeluarkan. Akta dan surat nikah, misalnya.
Kembali pada pertanyaan”,Apakah seorang istri yang dinikah siri berhak
atas harta waris”. Jawabannya, menurut Hukum Waris Islam : berhak.
Karena menurut agama Islam, dia sudah menjadi istri sah.
Namun, masalahnya posisi istri yang di-poligami dan dinikah siri menjadi lemah di mata administrasi negara.
Bila almarhum suami mereka memiliki warisan berupa deposito, misalnya, maka dia tak akan bisa mengaksesnya. Pencairan deposito oleh ahli waris membutuhkan Persyaratan Administratif Negara berupa “Surat Keterangan Hak Waris”, yang persyaratan mendapatkannya memerlukan dokumen seperti Akta/Surat Nikah, Kartu Keluarga yang hampir pasti tak dimilikinya.
Demikian juga bila harta waris berupa tanah dan bangunan.
“Maka, tugas ibu-ibu peserta kelas menjadi sangat strategis untuk membantu ibu-ibu lain yang menjalani pernikahan poligami serta nikah siri”,kata saya kemarin.
Apalagi, dalam pernikahan poligami, bagian warisan untuk istri yang memiliki anak adalah 1/8 dari harta. Bila istri dari almarhum ada empat, maka 1/8 bagian itu dibagi jumlah istri.
Sedangkan istri adalah penerus kelangsungan masa depan anak.
Meminta suami mereka mengeluarkan sejumlah uang untuk menyiapkan “Program Warisan” bernama Asuransi jauh lebih mudah, ketimbang meneruskan kehidupan serta pendidikan anak tanpa warisan yang cukup.
Jangan justru menghalangi suami memiliki Program Asuransi yang istri atau anak menjadi penerima manfaat.
Semua peserta kelihatannya mengerti.
Masalahnya menjadi agak kompleks, karena dalam banyak kasus, pernikahan Siri terkait dengan Poligami. Ada persyaratan “administratif” perkawinan poligami yang harus dipenuhi sesuai pasal 3 dan 4 UU no 1 tahun 1974 (UU Perkawinan). Dimana kalau persyaratan ini tak dipenuhi, perkawinan itu tetap sah menurut agama, namun tak sah menurut negara.
Karena menurut negara tak sah, maka untuk bukti administratifnya negara tak mengeluarkan. Akta dan surat nikah, misalnya.

Namun, masalahnya posisi istri yang di-poligami dan dinikah siri menjadi lemah di mata administrasi negara.
Bila almarhum suami mereka memiliki warisan berupa deposito, misalnya, maka dia tak akan bisa mengaksesnya. Pencairan deposito oleh ahli waris membutuhkan Persyaratan Administratif Negara berupa “Surat Keterangan Hak Waris”, yang persyaratan mendapatkannya memerlukan dokumen seperti Akta/Surat Nikah, Kartu Keluarga yang hampir pasti tak dimilikinya.
Demikian juga bila harta waris berupa tanah dan bangunan.
“Maka, tugas ibu-ibu peserta kelas menjadi sangat strategis untuk membantu ibu-ibu lain yang menjalani pernikahan poligami serta nikah siri”,kata saya kemarin.
Apalagi, dalam pernikahan poligami, bagian warisan untuk istri yang memiliki anak adalah 1/8 dari harta. Bila istri dari almarhum ada empat, maka 1/8 bagian itu dibagi jumlah istri.
Sedangkan istri adalah penerus kelangsungan masa depan anak.
Meminta suami mereka mengeluarkan sejumlah uang untuk menyiapkan “Program Warisan” bernama Asuransi jauh lebih mudah, ketimbang meneruskan kehidupan serta pendidikan anak tanpa warisan yang cukup.
Jangan justru menghalangi suami memiliki Program Asuransi yang istri atau anak menjadi penerima manfaat.
Semua peserta kelihatannya mengerti.
Comments
Post a Comment