
Nama Perusahaan itu Godrej&Boyce. Barangkali kalau di Indonesia mereka sebesar perusahaan yang di iklannya minta kita "mencintai ploduk-ploduk Indonesia". Mungkin lebih besar malah, mengingat jumlah penduduk (baca : pasar) India yan...g jauh lebih banyak.
Mereka yang sedang berkumpul sedang risau, dan berdiskusi hebat bagaimana membuat produk Kulkas...ya Kulkas, lemari es mereka bisa mengalahkan dominasi kulas bikinan Jepang, Amerika dan Korea : Sharp, LG dan GE.
Di India, konon saat itu, Kulkas dimiliki oleh 15% penduduknya. Sisanya, 85% tidak memiliki kulkas, karena alasan daya listrik di rumahnya yang tidak memadai, serta kebanyakan orang India belumlah memiliki kebiasaan seperti orang Barat yang berbelanja bahan makanan seminggu sekali untuk kemudian menyimpannya di dalam kulkas. Apa yang mereka masak dan makan hari ini, adalah apa yang mereka belanja hari itu juga.
Jadi bukannya tak ingin merasakan manfaat sebuah benda bernama kulkas, mereka tak menjangkaunya.
Godrej keluar, menghabiskan waktu dengan para (calon) pembeli kulkas mereka. Dana menemukan bahwa mayoritas di 85% konsumen yang tak memiliki kulkas, sebenarnya -kalau menemukan kesempatan - pengen juga memilikinya. Sekedar untuk menyimpan minuman dingin yang mereka bisa minum selepas hari kerja yang berpeluh, atau menyimpan makanan yang dapat dihangatkan malam hari ketika ayah pulang kerja.
Maka Godrej keluar dengan ide sebuah kulkas yang "sederhana", bertenaga baterai (aki), bisa "disunggi" dibawa di atas kepala ke sawah dan yang penting ...murah. Murah artinya bila dibandingkan LG atau GE dengan ukuran yang sama, harganya hanya separuhnya.
Kulkas itu bernama "Chatukool" yang tak hanya memenangkan nalar para pembelinya yang tadinya tak berfikir soal kulkas, menjadi membelinya (membuatnya memiliki nilai penjualan yang spektakuler); serta memenangkan pula hati pembelinya, dengan memenangkan Award sebagai Produk yang memiliki "Social Impact" tahun 2012 di India.
Lalu apa hubungannya dengan perseteruan Angkot dan Ojek Online?
Khususnya di Bogor, angkot -tadinya- adalah raja jalanan. Baik dari sisi "perilaku" para pengemudinya, maupun jumlahnya. Angkot di Bogor adalah produk birokrasi masa lalu yang "sedikit kerja pengen duit banyak" : permudah perijinan, dealer mobil jual banyak, karoseri mengasilkan omzet (dan setoran) besar, pajak kendaraan dan retribusi yang masuk banyak. Simpel.
Dan belakangan, 5-10 tahun kemudian, angkot itu bobrok karena tak sanggup beroperasi untuk sekedar balik modal. Jumlah penumpang tak sebanding dengan jumlah angkotnya. Boro-boro untuk peremajaan, untuk membuat armadanya beroperasi dalam standar layak saja sudah setengah mati.
Comments
Post a Comment