Makanan 'faporit' anak kedua saya, pizza. Di antara banyak pilihan
Pizza -maklum 'kids jaman now' beda sama bapaknya yang dikasih martabak
terang bulan saja sudah girang bener - dia suka banget pizza produksi
brand satu ini : Domino. Walau namanya Domino, sudah ada sertifikasi
halalnya, jadi aman.
Domino Pizza asal muasalnya dari Amerika, bukan dari Italia negeri di mana seharusnya Pizza lahir. Ini semacam telor mata sapi : telornya dari ayam, tapi sapi yang ngetop. Italia yang ciptain, Amerika yang dapat duit.
Berdiri tahun 1960, kini lebih dari 10.000 ribu outlet tersebar di seluruh dunia, dengan sekitar 60 outletnya ada di Indonesia, dibawa oleh grup MAP yang juga membawa Starbucks dan Burger King ke sini.
Dari beberapa negara yang
pernah saya datangi (camkan kesombongan itu !) Model outlet Domino
mirip-mirip. Jauh dari kesan fancy, ada sih beberapa yang model
"gallery outlet" dimana kita bisa nontonin orang yang lagi bikin
pizza-nya, tapi pasti di parkiran banyak motor" sepeda pakai box atau
mobil pengantar pizza.
Ya, dengan slogan "The Pizza Delivery Experts" mereka menancapkan kuku sebagai Penjual Pizza yang FOKUS melayani pesanan antar. Makan di outlet boleh, ya seadanya. Nggak ada meja kursi keren, nggak ada minuman warna-warni aneka rupa paling pol minuman soda.
Di Amerika sana, teknologi "Pizza Tracker" dimana pemesan nggak perlu repot tanya-tanya pesanannya sudah sampai mana. Ini yang mungkin yang diadopsi oleh Go-Food.
Domino -di Indonesia- termasuk jarang beriklan di media konvensional, dan justru melakukan promosinya berkolaborasi dengan beberapa sosial media. Salah satunya LIne. Ini untuk memantapkan posisi mereka pada pasar yang : Gampang laper, ramah gadget namun mager-an.
Alokasi uang iklan mereka alihkan ke Sales Promo sebagaimana brosur yang mereka sisipkan ke pesanan pizza anak saya ini. Buat yang pesan via online, bayar 1 dapat 2 pizza. Yang datang ke toko, silakan nikmati kursi yang keras, meja seadanya dan ... harga pizza standar (lebih mahal).
Mereka sedang mendidik pasarnya agar balik ke rel-nya. Delivery. Dan karena ini sudah jaman millenial, ordernya via online. Dengan order via online sudah barang tentu bisnisnya menjadi sangat, sangat, amat EFISIEN. Kalau efisien mereka bisa berikan servis yang bagus (karena bisa bayar SDM yang cuma dikit itu, dengan baik), produk yang kualitasnya bagus tapi tetap murah.
Saya kira itulah hakikat bisnis millenial : EFISIEN tanpa meninggalkan kualitas. Dan ini butuh kreativitas level tinggi. Hal ini memang rada susah dipahami oleh pebisnis dan birokrat yang berasal dari zaman Malari dan G30S PKI.
Dan itu yang sedang terjadi di propinsi tempat saya tinggal saat ini. Kemarin -karena tekanan publik : para pelaku bisnis konvensional - transportasi berbasis online dilarang. Tidak ada solusi, atau minimal jalan tengah. Pokoknya dilarang.
Melarang, menutup atau membredel adalah solusi paling mudah yang diambil, tak usah pakai berfikir keras, tak perlu modal kreativitas. Pokoknya ketika ada masalah yang susah dipahami, sulit dikerjakan, nggak mudah dicari jalan keluarnya, maka solusinya : Tutup !
Dan ini hanya tak cuma di birokrasi kok. Di dunia entrepreneur juga banyak yang begitu. Para pemula datang dengan semangat tinggi, mencoba mengerjakan bisnisnya. Lalu banyak hambatan : ditolak orang, omzet kecil, keuntungan nggak cukup. Beberapa, orang memutuskan 'berdarah-darah' bertahan, dan dengan kreativitasnya mereka akhirnya sukses.
Tapi -sebagian besar- ketika ketemu kesulitan langsung ... Tutup alias berhenti. Ketika yang sukses sudah sampai bulan, mereka sibuk dengan cari-cari alasan dan kambing warna hitam.
Jadi kalau memikirkan solusi itu susah, ngapain dipikirkan dicari solusi ? Benar memang pameo mental gembus yang bilang :
" Sesulit-sulitnya pekerjaan, akan berasa mudah bila tidak dikerjakan".
Dasar gembus !
Domino Pizza asal muasalnya dari Amerika, bukan dari Italia negeri di mana seharusnya Pizza lahir. Ini semacam telor mata sapi : telornya dari ayam, tapi sapi yang ngetop. Italia yang ciptain, Amerika yang dapat duit.
Berdiri tahun 1960, kini lebih dari 10.000 ribu outlet tersebar di seluruh dunia, dengan sekitar 60 outletnya ada di Indonesia, dibawa oleh grup MAP yang juga membawa Starbucks dan Burger King ke sini.

Ya, dengan slogan "The Pizza Delivery Experts" mereka menancapkan kuku sebagai Penjual Pizza yang FOKUS melayani pesanan antar. Makan di outlet boleh, ya seadanya. Nggak ada meja kursi keren, nggak ada minuman warna-warni aneka rupa paling pol minuman soda.
Di Amerika sana, teknologi "Pizza Tracker" dimana pemesan nggak perlu repot tanya-tanya pesanannya sudah sampai mana. Ini yang mungkin yang diadopsi oleh Go-Food.
Domino -di Indonesia- termasuk jarang beriklan di media konvensional, dan justru melakukan promosinya berkolaborasi dengan beberapa sosial media. Salah satunya LIne. Ini untuk memantapkan posisi mereka pada pasar yang : Gampang laper, ramah gadget namun mager-an.
Alokasi uang iklan mereka alihkan ke Sales Promo sebagaimana brosur yang mereka sisipkan ke pesanan pizza anak saya ini. Buat yang pesan via online, bayar 1 dapat 2 pizza. Yang datang ke toko, silakan nikmati kursi yang keras, meja seadanya dan ... harga pizza standar (lebih mahal).
Mereka sedang mendidik pasarnya agar balik ke rel-nya. Delivery. Dan karena ini sudah jaman millenial, ordernya via online. Dengan order via online sudah barang tentu bisnisnya menjadi sangat, sangat, amat EFISIEN. Kalau efisien mereka bisa berikan servis yang bagus (karena bisa bayar SDM yang cuma dikit itu, dengan baik), produk yang kualitasnya bagus tapi tetap murah.
Saya kira itulah hakikat bisnis millenial : EFISIEN tanpa meninggalkan kualitas. Dan ini butuh kreativitas level tinggi. Hal ini memang rada susah dipahami oleh pebisnis dan birokrat yang berasal dari zaman Malari dan G30S PKI.
Dan itu yang sedang terjadi di propinsi tempat saya tinggal saat ini. Kemarin -karena tekanan publik : para pelaku bisnis konvensional - transportasi berbasis online dilarang. Tidak ada solusi, atau minimal jalan tengah. Pokoknya dilarang.
Melarang, menutup atau membredel adalah solusi paling mudah yang diambil, tak usah pakai berfikir keras, tak perlu modal kreativitas. Pokoknya ketika ada masalah yang susah dipahami, sulit dikerjakan, nggak mudah dicari jalan keluarnya, maka solusinya : Tutup !
Dan ini hanya tak cuma di birokrasi kok. Di dunia entrepreneur juga banyak yang begitu. Para pemula datang dengan semangat tinggi, mencoba mengerjakan bisnisnya. Lalu banyak hambatan : ditolak orang, omzet kecil, keuntungan nggak cukup. Beberapa, orang memutuskan 'berdarah-darah' bertahan, dan dengan kreativitasnya mereka akhirnya sukses.
Tapi -sebagian besar- ketika ketemu kesulitan langsung ... Tutup alias berhenti. Ketika yang sukses sudah sampai bulan, mereka sibuk dengan cari-cari alasan dan kambing warna hitam.
Jadi kalau memikirkan solusi itu susah, ngapain dipikirkan dicari solusi ? Benar memang pameo mental gembus yang bilang :
" Sesulit-sulitnya pekerjaan, akan berasa mudah bila tidak dikerjakan".
Dasar gembus !
Comments
Post a Comment