"Ini
lho mbak dan adik, kota Malaka. Kota yang penduduknya tak sampai satu
juta orang ini dikunjungi seridaknya 4 juta wisatawan setiap tahunnya.
Ini yang bikin kota Malaka bersih, hidup dan makmur.

Di bis kota kita disopiri Pak Cik Rahman keturunan Melayu, Kita berbelanja suvenir di toko encik Tan keturunan Cina, kita numpang sholat di Masjid Kampung Keling yang dimerboti Mohammad si Pakistani, dan saat pulang ke terminal Malaka Sentral kita "dipandu" oleh pak Rajiv yang nenek moyangnya datang dari Mumbai, India".
Mereka tersenyum untuk kita, untuk para wisawatan yang datang ke kotanya. Mereka merayakan perbedaan dengan manis, mencipta damai di mana-mana, ini yang membuat mereka -para wisatawan- betah dan ingin kembali.
Bukan membuang energi untuk menjadi eksklusif dan memantik berbagai konflik.
Energi mereka curahkan untuk membuat jalan mulus tak berlobang, yang meringkas jarak Jakarta -Semarang hanya dalam lima jam perjalanan. Pikiran mereka tumpahkan untuk membuat kota yang ramah, mall yang sesak pembeli menenteng belanjaan namun tanpa "sweeping" walau atribut perayaan bergelantungan serta lagu-lagu rohani dikumandangkan.
Itulah kenapa Bapak dan Mamamu mengajakmu #cariangin. Untuk melihat bahwa di luar sana orang menghargai "keberagaman", bukan mengunci pikiran dalam "keseragaman".
Merasa paling benar sendiri, tapi tak juga beranjak kemana-mana. Ini negeri yang besar, jangan kita isi dengan "pikiran yang kecil".
Comments
Post a Comment