Lalu saya menyorotkan ke dinding lewat infocus, file PDF UU no 1
tahun 1974. Dengan cepat, ibu-ibu peserta acara sharing kemarin
langsung mengeluarkan suara seperti dengung lebah. Kasak-kusuk antara
mereka.
"Ini adalah pasal 3 Undang-undang Perkawinan",kata saya. "Undang-Undang membuka peluang seorang suami memiliki lebih dari satu istri",lanjut saya yang langsung disambung teriakan peserta : huuuuu...
"Ini belum selesai",kata saya. Lalu saya sorotkan ke dinding, pasal 35 Undang-Undang yang sama, tentang Harta dalam Perkawinan. Tercantum disitu, bahwa harta yang dimiliki sebelum pernikahan adalah harta masing-masing, harta yang terjadi setelah pernikahan adalah harta bersama.
"Hubungannya apa pak", tanya seorang ibu berjilbab pink penasaran.
Harta bersama yang tadinya dimiliki berdua, saat suami meninggal dunia, tidak lagi menjadi harta bersama yang 100% kepemilikannya hak istri. Harta tersebut akan menjadi harta waris yang pembagiannya mengikuti Hukum Waris. Harta yang dimaksud termasuk kewajibannya lho ya...zakat, pajak, hutang.
Kemudian ibu bisa lihat lagi kaitan pasal 3 dengan pasal 44 UU Perkawinan tersebut, tentang Anak. Anak -baik anak sah maupun anak diakui- dalam Hukum Waris Perdata memiliki "Legitimate Portie" alias hak memaksa.
"Maksudnya apa pak?",Ibu berkacamata Channel (sepertinya Ori, bukan KW) tiba-tiba menyela.
Saya buka sebuah contoh kasus yang kebetulan dimuat di sebuah media cetak. Seorang laki-laki meninggal dunia empat tahun lalu, dan meninggalkan harta warisan yang kemudian sudah dibagi rata diantara para ahli warisnya. Hingga datang satu hari, empat tahun setelah harta waris itu habis dibagi, seorang anak yang mengaku anak si almarhum (entah dari ibu yang mana), membawa bukti penetapan pengadilan lengkap dengan hasil test DNA. Harta waris kan sudah dibagi, sedang secara hukum anak ini berhak atas harta waris tersebut... Maka pengadilan menetapkan berdasar hak Legitimate Portie tersebut, si anak (hilang) ini mengambil harta waris yang diberikan pada istri sah si almarhum.
Rata-rata peserta terhenyak, suara dengung hilang. "Solusinya apa
pak",tanya seorang ibu yang wajahnya mirip Syahrini, sambil kelihatan
meremas kertas tissue yang dipegangnya.
Salah satu solusi yang bisa saya berikan adalah, milikilah Polis Asuransi Jiwa dengan tertanggung Suami, serta penerima manfaat ibu-ibu semua selaku istri. Semakin besar Uang Pertanggungan semakin baik, karena pencairan klaim Uang Pertanggungan Asuransi selain bisa dipakai untuk meneruskan (gaya) hidup juga untuk membayar aneka kewajiban atas Harta Waris. Jadi tak ada cerita ibu-ibu melarang suami memiliki Asuransi, asal dipastikan ibu-ibu semua sebagai penerima manfaat.
Saya teruskan bahwa Uang pencairan Klaim Asuransi tidak dikenakan Pajak Penghasilan. Polis Asuransi memiliki hukumnya sendiri yang tidak serta merta tunduk pada Hukum Waris yang berlaku. Dan itu menjadi warisan eksklusif untuk istri. Lalu saya ambil ipad untuk membantu menyiapkan hitung-hitungan warisan eksklusif itu.
Saya lihat ibu yang mirip Syahrini menghela nafas lega, membuang tissue yang sudah hancur ke tempat sampah di belakang kursinya. Ibu berkaca mata Channel ori tersenyum bahagia.
"Ini adalah pasal 3 Undang-undang Perkawinan",kata saya. "Undang-Undang membuka peluang seorang suami memiliki lebih dari satu istri",lanjut saya yang langsung disambung teriakan peserta : huuuuu...
"Ini belum selesai",kata saya. Lalu saya sorotkan ke dinding, pasal 35 Undang-Undang yang sama, tentang Harta dalam Perkawinan. Tercantum disitu, bahwa harta yang dimiliki sebelum pernikahan adalah harta masing-masing, harta yang terjadi setelah pernikahan adalah harta bersama.
"Hubungannya apa pak", tanya seorang ibu berjilbab pink penasaran.
Harta bersama yang tadinya dimiliki berdua, saat suami meninggal dunia, tidak lagi menjadi harta bersama yang 100% kepemilikannya hak istri. Harta tersebut akan menjadi harta waris yang pembagiannya mengikuti Hukum Waris. Harta yang dimaksud termasuk kewajibannya lho ya...zakat, pajak, hutang.
Kemudian ibu bisa lihat lagi kaitan pasal 3 dengan pasal 44 UU Perkawinan tersebut, tentang Anak. Anak -baik anak sah maupun anak diakui- dalam Hukum Waris Perdata memiliki "Legitimate Portie" alias hak memaksa.
"Maksudnya apa pak?",Ibu berkacamata Channel (sepertinya Ori, bukan KW) tiba-tiba menyela.
Saya buka sebuah contoh kasus yang kebetulan dimuat di sebuah media cetak. Seorang laki-laki meninggal dunia empat tahun lalu, dan meninggalkan harta warisan yang kemudian sudah dibagi rata diantara para ahli warisnya. Hingga datang satu hari, empat tahun setelah harta waris itu habis dibagi, seorang anak yang mengaku anak si almarhum (entah dari ibu yang mana), membawa bukti penetapan pengadilan lengkap dengan hasil test DNA. Harta waris kan sudah dibagi, sedang secara hukum anak ini berhak atas harta waris tersebut... Maka pengadilan menetapkan berdasar hak Legitimate Portie tersebut, si anak (hilang) ini mengambil harta waris yang diberikan pada istri sah si almarhum.

Salah satu solusi yang bisa saya berikan adalah, milikilah Polis Asuransi Jiwa dengan tertanggung Suami, serta penerima manfaat ibu-ibu semua selaku istri. Semakin besar Uang Pertanggungan semakin baik, karena pencairan klaim Uang Pertanggungan Asuransi selain bisa dipakai untuk meneruskan (gaya) hidup juga untuk membayar aneka kewajiban atas Harta Waris. Jadi tak ada cerita ibu-ibu melarang suami memiliki Asuransi, asal dipastikan ibu-ibu semua sebagai penerima manfaat.
Saya teruskan bahwa Uang pencairan Klaim Asuransi tidak dikenakan Pajak Penghasilan. Polis Asuransi memiliki hukumnya sendiri yang tidak serta merta tunduk pada Hukum Waris yang berlaku. Dan itu menjadi warisan eksklusif untuk istri. Lalu saya ambil ipad untuk membantu menyiapkan hitung-hitungan warisan eksklusif itu.
Saya lihat ibu yang mirip Syahrini menghela nafas lega, membuang tissue yang sudah hancur ke tempat sampah di belakang kursinya. Ibu berkaca mata Channel ori tersenyum bahagia.
Comments
Post a Comment