Lebih keren sebenarnya kalau di medsos kita tampilkan mobil baru, tapi apa boleh buat, saya tak punya mobil baru yang bisa ditampilkan. Mobil yang saya miliki, ya mobil yang sama sejak lima tahun lalu.
Nah, tapi saya mau cerita sedikit mengenai salah satu saham yang menghiasi portofolio rencana dana pensiun saya, yaitu saham Bank Syariah Indonesia (kode : BRIS).
Sejak lulus kuliah, saya bukan tipe sarjana yang pengen kerja di Bank. Banyak teman-teman saya yang sekarang sukses berkarir di Bank. Selain bukan preferensi karir, juga mencoba tahu diri… lha IPK mepet pinggir kok mau ngelamar ke Bank -yang waktu itu- kerjanya tiap hari pakai dasi.
Demikian juga setelah memiliki penghasilan dan sudah tahu sedikit-sedikit ilmu investasi. Saham bank bukanlah saham yang menjadi preferensi portfolio, dengan alasan yang sangat pribadi. Namun, saya menyimpan uang harian saya di rekening bank, karena memang belum ketemu instrumen lain yang bisa menggantikan.
Namun, khusus untuk Bank Syariah Indonesia saya membuat pengecualian. Saya mulai nyicil beli saham BRIS ini sejak harganya Rp 1.200-an, hingga hari ini harganya sekitar Rp 2.100-an. Sudah “cuan” sebenarnya, tapi belum akan saya lepas. Kenapa? Karena tujuan saya memiliki saham BRIS ini memang untuk tujuan investasi, jangka panjang. Ibarat menanam pohon jati.
Pertanyaannya, mengapa untuk BRIS saya membuat pengecualian, katanya nggak mau investasi di saham bank?
Saya teringat “nasib” Bank Muamalat. Salah satu bank dengan konsep syariah yang didirikan dengan cita-cita besar, namun harus menelan pil pahit dalam ironi Bank ini berdiri di negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia. Lebih ironi lagi, dua bank konvensional terbesar di negeri ini mencatatkan labanya secara konsisten tahun demi tahun secara konsisten.
Maka, saya pikir, walau dalam skala super kecil, saya pengen juga ikut berkontribusi pada kemajuan Bank Syariah yang digadang-gadang bakal jadi bank syariah terbesar di Indonesia (bahkan di kawasan Asia Tenggara). Ikut menanam modal adalah satu cara yang bisa kita lakukan. Bahasa kerennya investasi.
Kenapa ini menjadi penting? Karena masih ada suara bahwa kedaulatan ekonomi kita ini terancam dengan masuknya modal asing dan aseng. Asing dan Aseng menggelontorkan uang untuk membeli saham yang dijual di bursa saham Indonesia? Kenapa?
Tentu selain karena uang akan mengalir ke tempat yang memberikan keuntungan, juga karena kita-kita ini orang Indonesia sendiri kalau diajak ngomong soal investasi agak-agak gimana gitu… Malah ada yang mau untung, tapi nggak mau terima risiko rugi. Mending dibeliin mobil atau moge, lebih "kelihatan".
Jadi, menurut saya nih… Melawan dominasi modal asing dan aseng tiada lain dengan cara… kita berinvestasi. Nggak apa-apa pakai sepatu dan baju harga puluhan ribu, tapi berdaulat secara ekonomi.
IMHO ya…
Nah, tapi saya mau cerita sedikit mengenai salah satu saham yang menghiasi portofolio rencana dana pensiun saya, yaitu saham Bank Syariah Indonesia (kode : BRIS).
Sejak lulus kuliah, saya bukan tipe sarjana yang pengen kerja di Bank. Banyak teman-teman saya yang sekarang sukses berkarir di Bank. Selain bukan preferensi karir, juga mencoba tahu diri… lha IPK mepet pinggir kok mau ngelamar ke Bank -yang waktu itu- kerjanya tiap hari pakai dasi.
Demikian juga setelah memiliki penghasilan dan sudah tahu sedikit-sedikit ilmu investasi. Saham bank bukanlah saham yang menjadi preferensi portfolio, dengan alasan yang sangat pribadi. Namun, saya menyimpan uang harian saya di rekening bank, karena memang belum ketemu instrumen lain yang bisa menggantikan.
Namun, khusus untuk Bank Syariah Indonesia saya membuat pengecualian. Saya mulai nyicil beli saham BRIS ini sejak harganya Rp 1.200-an, hingga hari ini harganya sekitar Rp 2.100-an. Sudah “cuan” sebenarnya, tapi belum akan saya lepas. Kenapa? Karena tujuan saya memiliki saham BRIS ini memang untuk tujuan investasi, jangka panjang. Ibarat menanam pohon jati.

Pertanyaannya, mengapa untuk BRIS saya membuat pengecualian, katanya nggak mau investasi di saham bank?
Saya teringat “nasib” Bank Muamalat. Salah satu bank dengan konsep syariah yang didirikan dengan cita-cita besar, namun harus menelan pil pahit dalam ironi Bank ini berdiri di negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia. Lebih ironi lagi, dua bank konvensional terbesar di negeri ini mencatatkan labanya secara konsisten tahun demi tahun secara konsisten.
Maka, saya pikir, walau dalam skala super kecil, saya pengen juga ikut berkontribusi pada kemajuan Bank Syariah yang digadang-gadang bakal jadi bank syariah terbesar di Indonesia (bahkan di kawasan Asia Tenggara). Ikut menanam modal adalah satu cara yang bisa kita lakukan. Bahasa kerennya investasi.
Kenapa ini menjadi penting? Karena masih ada suara bahwa kedaulatan ekonomi kita ini terancam dengan masuknya modal asing dan aseng. Asing dan Aseng menggelontorkan uang untuk membeli saham yang dijual di bursa saham Indonesia? Kenapa?
Tentu selain karena uang akan mengalir ke tempat yang memberikan keuntungan, juga karena kita-kita ini orang Indonesia sendiri kalau diajak ngomong soal investasi agak-agak gimana gitu… Malah ada yang mau untung, tapi nggak mau terima risiko rugi. Mending dibeliin mobil atau moge, lebih "kelihatan".
Jadi, menurut saya nih… Melawan dominasi modal asing dan aseng tiada lain dengan cara… kita berinvestasi. Nggak apa-apa pakai sepatu dan baju harga puluhan ribu, tapi berdaulat secara ekonomi.
IMHO ya…
Comments
Post a Comment