Dengan kesadaran penuh bahwa pasti ada orang yang tidak sepakat dengan "konsep parenting ala-ala" kami ini, tidak mengapa. Saya tuliskan ini untuk berbagi pengalaman saja. Ada pelajarannya silakan diambil, tak cocok ya dibuang saja.
Namanya Ade. Dia adalah pengasuh anak-anak saya di periode tahun 2002 - 2007. Tahun 2007 Ade mengundurkan diri karena menikah.
Ade ikut keluarga kami sejak kami masih tinggal di rumah pertama kami di daerah Ciampea Bogor, dan menjadi bagian sebagaimana keluarga kami sendiri. Rumahnya tak jauh dari Kompleks kami tinggal waktu itu. Tahun 2002, tak lama setelah -Diva- anak kedua kami lahir, kami pindah rumah ke Bogor Kota. Ade tetap ikut dan pulang ke rumahnya di Ciampea dua minggu sekali.
Masa kecil Diva -setidaknya hingga dia usia 5 tahun- ditemani oleh Ade. Jaman dulu belum lazim seorang "nanny" punya handphone, karena masih mahal. Jadi sesekali saya dan istri yang bekerja, hanya mengecek melalui telepon.
Kok bisa (atau ada yang bilang : kok tega) meninggalkan anak bersama pengasuh yang tak kita kenal banget latar belakangnya?
Saya dan istri lahir dan besar dalam keluarga yang ayah dan ibunya bekerja. Ibu saya PNS di Pemkot Semarang, ibu istri saya Guru. Kami bisa bertemu orangtua setelah pukul 14 (Bapak saya biasanya baru pulang pukul 16.00 karena memiliki sambilan sebagai juru foto lepas). Selepas sekolah, sambil menunggu orang tua, ya kami bersama pengasuh.
Pertanyaanya, mengapa ibu saya, ibu istri saya dan istri saya juga memilih tetap "bekerja" sedangkan suaminya sudah memiliki penghasilan? Ternyata mereka memiliki persamaan. Suami-suami mereka beranggapan, bahwa sebagai wanita yang memiliki pendidikan, patutlah mereka mengembangkan potensi mereka. Dengan berada di dunia "pekerjaan" paling tidak mereka memiliki "network", terbiasa berfikir soal "menyelesaikan target" disamping memiliki penghasilan tambahan.
Dengan pertimbangan itulah kami dulu merekrut Ade untuk menemani Alifa dan Diva, yang ini adalah pengeluaran ekstra. Namun bisa dibayar karena istri saya (ikut) bekerja.
Apa tidak takut anak dididik buruk oleh pengasuh? tentu urusan mendidik anak adalah tugas orang tua. Kami berdua yang memberi arahan. Setiap sore kami minta laporan dari Ade dan juga anak-anak. Anak-anak tentu bisa lebih jujur. Kami menyiapkan sekolah terbaik agar anak-anak juga mulai bisa berfikir kritis sejak dini.
Dalam perjalanan usaha saya saat ini, saya banyak bertemu ibu-ibu yang memilih untuk tak lagi bekerja, menjadi "fulltime mom" atau Ibu penuh waktu. Itu pilihan yang bijak, karena zaman juga mulai berubah, tantangan membesarkan anak menjadi semakin sulit.
Namun, saya melihat ada beberapa alasan kenapa para ibu itu memutuskan tak lagi mau bekerja (atau menghasilkan secara ekonomi).
Pertama, karena permintaan suami. Tentu kalau suami yang meminta, istri nurut : adalah hal mulia. Sepanjang suaminya bisa memenuhi semua kebutuhan ekonomi, ya tidak masalah. Yang masalah adalah bila suaminya sebenarnya tak memiliki penghasilan yang memadai, namun melarang istrinya bekerja. Dari berbagai riset yang saya baca, umumnya terjadi perceraian karena faktor perekonomian keluarga.
Kedua, karena kesadaran sendiri. Ini juga baik. Namun kesadaran yang terbaik adalah memutuskan untuk tak lagi bekerja, namun tetap "berdaya" secara ekonomi. Maka dari sini muncul istilah mompreneur, ibu-ibu yang juga memiliki usaha.
Ketiga, ini yang paling repot. Memutuskan untuk keluar atau tak lagi bekerja dengan alasan capek bekerja, capek mikir dan ingin menikmati hidup di rumah saja. "Di rumah nggak ada target-target", Katanya. Menjadi Ibu, menjadi istri, juga capek lho. Apalagi kalau penghasilan suami mepet margin bawah. Ilmu Perencanaan Keuangan model apapun tidak akan bisa bermanfaat saat Uangnya nggak ada ...
Saya dan istri sudah 23 tahun menjalani kehidupan pernikahan (yang pernah saya ceritakan di Yutub, melalui empat fase naik turun kehidupan). Anak-anak saya -relatif- sudah "mentas". Yang satu sudah bekerja, yang satu lagi dalam waktu dekat akan beres kuliah. Ada peran Ade di sana. Setidaknya kami bisa bilang : tak selamanya anak diserahkan kepada pengasuh selalu buruk hasilnya.
Saat dulu masih muda, kami berdua berusaha menggunakan waktu, potensi diri dan energi untuk cari uang sebanyak-banyaknya. Kami serahkan urusan menunggu anak pada jam produktif pada pengasuh. Waktu adalah uang kan? Kalau kamu nggak punya waktu, ya siap-siap ngeluarin uang.
Ada yang beralasan, merekrut pengasuh itu artinya pengeluaran tambahan. Betul, kalau waktu pengasuhan anak yang sudah diserahkan pada pengasuh hanya dipakai untuk mager leyeh-leyeh atau gaul sana-sini tak produktif. Kalau kita mau sedikit mikir dan berusaha, pengeluaran tambahan itu akan balik berkali lipat dalam bentuk rezeki yang namanya pendapatan.
Kenapa dulu kami se-matre itu? Karena kami sadar yang kami hadapi ketika anak-anak mulai besar adalah BIAYA yang besar. Yang itu kami harus siapkan dengan kerja berdua mati-matian. Nggak ada istilah mager-mager saat kami muda (dan anak-anak masih kecil) dulu. Gaspol ...
Sekarang, saat energi kami sudah habis : kami sudah tinggal menikmati hidup. Hari Senin pagi, sudah bisa jalan pagi ke Kebun raya Bogor. Tidak perlu menunggu sabtu minggu. Tak perlu menunggu gajian.
Namun, sekali lagi, ini hanya sekedar pengalaman hidup kami, parenting ala-ala. Bukan ajaran, aliran atau aturan... semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment