Kupang? Di mana posisi persisnya, masih banyak yang tak tahu. Ada yang bilang dekat Lombok (NTB), atau dekat Bali. Tak banyak yang tahu bahwa ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur ini berada satu pulau dengan Timor Leste. Ya, sejak dulu, Kupang kalah pamor disbanding Dili.
Berada di pesisir Teluk Kupang, ini adalah kota yang “bhinneka tunggal ika”, karena penduduknya berasal dari berbagai macam suku : Timor, Rote, Sabu, Tionghoa, Flores dan sebagian pendatang dari Bugis dan Jawa. Luas wilayah Kota Kupang adalah 180,27 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 : 450.360 jiwa.
Saat mendarat di bandara Internasional El Tari, saya langsung disergap udara panas…mungkin sekitar 37 derajat celcius, cukup menyengat untuk kulit saya yang biasa hidup di kota Bogor.
Persinggahan pertama kami selepas dari bandara adalah sebuah restoran Seafood yang direkomendasikan sahabat saya, mas Saptono dan mbak Lilyana, pemilik Agency AIA Kupang : restoran Suka Ramai. Restoran ini menyajikan aneka masakan Indonesia, namun yang “ngetop” adalah olahan daging semacam dendeng bernama Se’i dan -tentu saja- Tom Yam udangnya.
Hari pertama dihabiskan dengan mengisi kelas “Asuransi sebagai Solusi Masalah Waris dan Pajak” yang diselenggarakan oleh AIA Kupang. Materi ini adalah salah satu materi yang sedang banyak ingin diketahui orang, seiring makin banyaknya orang yang sejahtera dan mulai meninggalkan banyak Warisan untuk anak atau istrinya
SOE dan HUTAN WISATA BUAT
Hari kedua di Kupang saya mulai dengan bergegas, karena sudah ada tujuan yang menanti : Kota So’e, hutan wisata Buat dan Pantai Kolbano. Ketiganya terletak di wilayah Timor Tengah Selatan.
Perjalanan dimulai dari Kupang. Mungkin kalau mau diperbandingkan, Soe ini semacam Kota Malang di Jawa Timur. Soe terletak 110 kilometer dari Kota Kupang. Soe dulunya dijuluki kota terdingin se pulau Timor dan sempat menjadi sentra Jeruk Keprok dan Apel Soe. Namun seiring terjadinya perubahan suhu, sedikit-sedikit pohon Jeruk dan Apel mulai punah.
Di Soe kami bertemu beberapa nasabah orang nasabah AIA, yang salah satunya dipercaya sebagai orang terkaya kedua di kota Soe. Namun, walaupun memiliki predikat sebagai orang terkaya, kesehariannya dia isi di belakang meja kasir di Toko yang dikelolanya. Sangat bersahaja.
Dari kota Soe, perjalanan kami lanjutkan ke hutan Wisata Buat, yang jaraknya tak jauh dari pusat kota Soe. Kami tak sempat menghitung, namun waktu tempuh tak sampai limabelas menit. Tadinya saya bingung, apa menariknya hutan ini ? Ternyata saya datang pada saat yang kurang tepat.
Hutan Wisata Buat diisi oleh pohon Mahoni, Kayu Putih dan beberapa pinus. Pada suatu saat di bulan Juni atau Juli, saat daun mahoni berguguran, katanya suasa hutan ini mirip di Korea.
Pemandangannya sangat “instagrammable” demikian kata anak jaman now. Hamparan daun kering yang berwarna kuning menjadi latar foto yang luar biasa indah. Dan kalau sudah diunggah ke Instagram, hampir dipastikan banyak yang tak percaya itu ada di pulau Timor, Indonesia.
Saya tak lama menghabiskan waktu di Hutan Wisata Buat ini karena pada hari biasa, hutan ini sepi tak ada kegiatan apapun. Perjalanan saya lanjutkan ke Pantai Kolbano.
PANTAI KOLBANO
Saya bayangkan ini adalah pantai biasa, sebagaimana pantai-pantai lain di Indonesia yang sudah saya kunjungi. Perjalanan dari Soe ke Kolbano sangat menantang. Jalanan sih bagus, tapi berkelak-kelok. Di beberapa lokasi kami menjumpai perkampungan dengan rumah khas Timor yang bentuknya mirip Honai di Papua dengan pelataran yang luas serta pohon Asam Jawa (Tamarindus indica L) yang mungkin sudah berusia ratusan tahun menaunginya.
Dari Soe perlu waktu sekitar dua jam hingga sampai ke Pantai Kolbano. Dan begitu sampai, terkejutlah saya ketika menjumpai pantai ini tak seperti umumnya pantai yang berpasir atau berbatu karang.
Pantai Kolbano menyimpan keunikan karena -barangkali- inilah satu-satunya pantai yang sepanjang hamparannya adalah batu yang biasa kita gunakan di taman. Berwarna putih kemerahan. Keunikan lain dari batu di Pantai Kolbano adalah : tidak pernah habis. Setiap periode tertentu beberapa truk container berhenti dan memuat batu pantai yang ditambang oleh penduduk setempat untuk dijual (bahkan diekspor) sebagai batu hiasan. Namun tiap hari pula, batu yang berkuran besar terangkat oleh arus pasang ke pantai, sementara batu yang berukuran kecil terdorong ke dalam air.
Di pantai Kolbano ada beberapa anak kecil yang -ternyata- sangat tenar. Mereka dengan sangat ramah akan menyambut, mengikuti ke sudut pantai mana kita pergi menawarkan jasa mengambil foto dengan kamera hape kita. Bila kita menolak, mereka tetap gigih mengikuti dan bertindak layaknya pengarah gaya foto untuk kita : merekomendasikan pose dan posisi untuk hasil foto terbaik.
Anak-anak Kolbano ini menjadi sangat tenar, karena hamper semua blogger yang pernah berkunjung ke sana mengabadikan aksi anak-anak gigih ini.
Hari sudah mulai gelap ketika saya putuskan untuk kembali ke kota Kupang.
NAPOLEON MATI DI KAMPUNG SOLOR
Hari ketiga di Kupang, saya isi dengan berkeliling kota mengunjungi beberapa spot menarik seperti pantai dan tentu saja tempat-tempat wisata kuliner. Senja kami habiskan dengan menunggu Matahari tenggelam dari café di atas Hotel On The Rock Kupang.
Setelah matahari tenggelam, kami memutuskan menghabiskan malam di Kampung Solor. Kampung Solor adalah semacam “pasar malam” yang terletak di Jalan Siliwangi, Kampung Solor Kota Kupang. Pasar malam ini buka mulai pukul 17.00, katanya, tak lengkap datang ke Kupang tanpa berkunjung dan menikmati Kampung Solor.
Masuk ke area kampung Solor, kami langsung disambut bau kayu bakar untuk membakar aneka hidangan makanan laut : terutama ikan bakar. Ikan bakar yang disajikan adalah ikan-ikan segar yang berasal dari laut yang belum tercemar.
Sepanjang pasar malam kuliner Kampung Solor berdiri ratusan tenda penjual makanan berbasis ikan (ada juga yang menyajikan sate ayam atau sate kambing), dengan aneka rupa pilihan ikan, kepiting dan udang segar. Malam itu pilihan saya jatuhkan pada Ikan Napoleon yang jarang saya temui di Bogor, kota saya berasal.
Maka, malam itu Napoleon mati Kampung Solor.
Berada di pesisir Teluk Kupang, ini adalah kota yang “bhinneka tunggal ika”, karena penduduknya berasal dari berbagai macam suku : Timor, Rote, Sabu, Tionghoa, Flores dan sebagian pendatang dari Bugis dan Jawa. Luas wilayah Kota Kupang adalah 180,27 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 : 450.360 jiwa.
Saat mendarat di bandara Internasional El Tari, saya langsung disergap udara panas…mungkin sekitar 37 derajat celcius, cukup menyengat untuk kulit saya yang biasa hidup di kota Bogor.
Persinggahan pertama kami selepas dari bandara adalah sebuah restoran Seafood yang direkomendasikan sahabat saya, mas Saptono dan mbak Lilyana, pemilik Agency AIA Kupang : restoran Suka Ramai. Restoran ini menyajikan aneka masakan Indonesia, namun yang “ngetop” adalah olahan daging semacam dendeng bernama Se’i dan -tentu saja- Tom Yam udangnya.
Hari pertama dihabiskan dengan mengisi kelas “Asuransi sebagai Solusi Masalah Waris dan Pajak” yang diselenggarakan oleh AIA Kupang. Materi ini adalah salah satu materi yang sedang banyak ingin diketahui orang, seiring makin banyaknya orang yang sejahtera dan mulai meninggalkan banyak Warisan untuk anak atau istrinya
SOE dan HUTAN WISATA BUAT
Hari kedua di Kupang saya mulai dengan bergegas, karena sudah ada tujuan yang menanti : Kota So’e, hutan wisata Buat dan Pantai Kolbano. Ketiganya terletak di wilayah Timor Tengah Selatan.
Perjalanan dimulai dari Kupang. Mungkin kalau mau diperbandingkan, Soe ini semacam Kota Malang di Jawa Timur. Soe terletak 110 kilometer dari Kota Kupang. Soe dulunya dijuluki kota terdingin se pulau Timor dan sempat menjadi sentra Jeruk Keprok dan Apel Soe. Namun seiring terjadinya perubahan suhu, sedikit-sedikit pohon Jeruk dan Apel mulai punah.
Suasana Kota Soe |
Dari kota Soe, perjalanan kami lanjutkan ke hutan Wisata Buat, yang jaraknya tak jauh dari pusat kota Soe. Kami tak sempat menghitung, namun waktu tempuh tak sampai limabelas menit. Tadinya saya bingung, apa menariknya hutan ini ? Ternyata saya datang pada saat yang kurang tepat.
Suasana di Hutan Wisata Buat, Soe-Timor Tengah Selatan |
Pemandangannya sangat “instagrammable” demikian kata anak jaman now. Hamparan daun kering yang berwarna kuning menjadi latar foto yang luar biasa indah. Dan kalau sudah diunggah ke Instagram, hampir dipastikan banyak yang tak percaya itu ada di pulau Timor, Indonesia.
Saya tak lama menghabiskan waktu di Hutan Wisata Buat ini karena pada hari biasa, hutan ini sepi tak ada kegiatan apapun. Perjalanan saya lanjutkan ke Pantai Kolbano.
PANTAI KOLBANO
Saya bayangkan ini adalah pantai biasa, sebagaimana pantai-pantai lain di Indonesia yang sudah saya kunjungi. Perjalanan dari Soe ke Kolbano sangat menantang. Jalanan sih bagus, tapi berkelak-kelok. Di beberapa lokasi kami menjumpai perkampungan dengan rumah khas Timor yang bentuknya mirip Honai di Papua dengan pelataran yang luas serta pohon Asam Jawa (Tamarindus indica L) yang mungkin sudah berusia ratusan tahun menaunginya.
Dari Soe perlu waktu sekitar dua jam hingga sampai ke Pantai Kolbano. Dan begitu sampai, terkejutlah saya ketika menjumpai pantai ini tak seperti umumnya pantai yang berpasir atau berbatu karang.
Berbaring di hamparan batu Pantai Kolbano |
Bersama anak-anak gigih Pantai Kolbano |
Di pantai Kolbano ada beberapa anak kecil yang -ternyata- sangat tenar. Mereka dengan sangat ramah akan menyambut, mengikuti ke sudut pantai mana kita pergi menawarkan jasa mengambil foto dengan kamera hape kita. Bila kita menolak, mereka tetap gigih mengikuti dan bertindak layaknya pengarah gaya foto untuk kita : merekomendasikan pose dan posisi untuk hasil foto terbaik.
Anak-anak Kolbano ini menjadi sangat tenar, karena hamper semua blogger yang pernah berkunjung ke sana mengabadikan aksi anak-anak gigih ini.
Hari sudah mulai gelap ketika saya putuskan untuk kembali ke kota Kupang.
NAPOLEON MATI DI KAMPUNG SOLOR
Hari ketiga di Kupang, saya isi dengan berkeliling kota mengunjungi beberapa spot menarik seperti pantai dan tentu saja tempat-tempat wisata kuliner. Senja kami habiskan dengan menunggu Matahari tenggelam dari café di atas Hotel On The Rock Kupang.
Setelah matahari tenggelam, kami memutuskan menghabiskan malam di Kampung Solor. Kampung Solor adalah semacam “pasar malam” yang terletak di Jalan Siliwangi, Kampung Solor Kota Kupang. Pasar malam ini buka mulai pukul 17.00, katanya, tak lengkap datang ke Kupang tanpa berkunjung dan menikmati Kampung Solor.
Masuk ke area kampung Solor, kami langsung disambut bau kayu bakar untuk membakar aneka hidangan makanan laut : terutama ikan bakar. Ikan bakar yang disajikan adalah ikan-ikan segar yang berasal dari laut yang belum tercemar.
Deretan ikan segar |
Maka, malam itu Napoleon mati Kampung Solor.
Comments
Post a Comment