
-----...
Seorang Ayah, sebut saja namanya pak A memiliki 2 orang anak, B dan C. Masing-masing anak memberi 2 orang cucu pada pak A.
B tinggal jauh di luar kota, sementara pak A yang sudah tua dan sakit-sakitan dirawat oleh C, istri dan anak-anaknya. Mereka tinggal di rumah pak A.
Umur orang tak ada yang bisa menghitung, karena suatu sebab C meninggal dunia, mendahului ayahnya. Tinggallah istri/janda C dan anak-anak di rumah pak A, dan tetap merawat pak A dengan setulus hati.
Tak lama setelah kematian C, pak A -selain karena memang sudah ajal, juga karena menanggung sedih yang dalam- meninggal dunia pula. Meninggalkan beberapa hektar sawah, rumah besar yang ditinggali istri C beserta anak-anak dan beberapa harta lain.
Segera setelah proses penguburan pak A selesai, berkumpullah keluarga untuk berbagi Harta Waris. Dan Istri serta anak (almarhum) C diminta angkat kaki dari rumah itu, karena dinilai tidak memiliki Hak Waris atas harta pak A.
Lho kan masih ada anak-anak C, yang notabene cucu dari A? Apakah mereka tak berhak menerima harta waris juga?
------
Apakah kisah ini familiar, atau minimal pernah anda dengar? Kisah ini benar terjadi, dan jawaban dari pertanyaan di atas adalah : Benar, cucu TIDAK OTOMATIS menerima harta waris.
Kenapa? Karena Cucu tidak berada pada golongan Ahli Waris yang harus dibagi harta waris sebelum yang lainnya (Ash-Habul Furudh). Posisi cucu adalah di golongan berikutnya ('Ashabah An-Nasabiyah).
Istri C hanya akan menerima bagian harta waris dari almarhum C, dan tidak mendapatkan dari pak A, karena memang tidak ada hubungan hak. Sehingga kuat alasan ahli waris pak A untuk "mengusir" janda C dan anak-anaknya.
Apakah ini adil? Adil atau tidak adil, itulah Hukum yang berlaku, dan inilah biasanya pangkal dari semua sengketa waris : Kurangnya pemahaman Hukum Waris dan UU Perkawinan kita. Dalam UU Perkawinan kita (UU no 1 tahun 1974), membuka peluang seorang suami memiliki lebih dari satu istri. Artinya membuka peluang memiliki anak diluar dari perkawinan sah-nya. Seorang anak yang lahir dari perkawinan tidak sah, bisa menuntut hak perdata dari ayahnya.., implikasinya dia bisa mendapatkan Hak Waris, karena seorang Saudara Se-Ayah (tak perlu se-Ibu) masuk dalam golongan Ash-Habul Furudh.
Lalu, dalam kasus di atas, bisakah pak A memberi semacam "privilege" atau keistimewaan pada janda C dan anak-anaknya yang telah merawatnya dengan sepenuh hati hingga akhir hayatnya : untuk ikut menerima sebagian harta yang telah dikumpulkannya ?
Jawabannya : BISA. Setidaknya ada dua cara :
CARA 1. Pak A menyiapkan Hibah atau menuliskan Wasiat agar sebagian hartanya diberikan pada Janda C beserta anak-anaknya. Hukum Waris Islam membolehkan penyerahan harta (waris) dalam bentuk wasiat, namun maksimal 1/3 dari total nilai harta waris.
Kelemahannya, Surat Wasiat bisa digugat oleh Ahli Waris lain yang merassa berhak. Dalam beberapa kasus, Surat Wasiat ini gugur bila pengadilan menyatakan alasan Ahli Waris yang merasa berhak itu kuat.
CARA 2. Pak A membelikan Warisan dalam bentuk Polis Asuransi, dengan penerima manfaat janda C dan anak-anaknya. Cara ini relatif mudah dan aman, karena Pencairan Manfaat Asuransi (Uang Pertanggungan) bukanlah obyek yang diatur dalam Hukum Waris. Ingat, Obyek yang diatur dalam Hukum Waris adalah Harta Bersama sebagaimana dimaksud oleh pasal 35 ayat (1) UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu, pencairan ini bebas biaya serta bebas pajak.
Jadi, Mengetahui (kalau bisa mendalami) Hukum Waris serta UU Perkawinan yang berlaku itu penting. Jangan sampai kita meninggalkan "Cucu Yang Tertinggal".
Comments
Post a Comment