Ini oleh-oleh dari Penjurian "Program Mahasiwa Wirausaha" di IPB hari Sabtu lalu.
Seperti biasa, sebelum penjurian dimulai, kami -para juri- berkumpul untuk briefing, beberapa kangen-kangenan karena "kopdar" setahun sekali ini. Keresahan kami sama, adakah para peserta tahun sebelumnya, baik yang menang atau tidak, menjalankan benar-benar misi hidupnya sebagai wirausahawan? Jawabannya : Tidak. Kenapa?
Belakangan setelah melakukan penjurian pada peserta tahun 2017 ini saya menemukan salah satu jawabannya.
Kelompok ini kebagian presentasi pukul 11.30-12.00 dan mereka datang komplit, berempat. Ini adalah proposal mereka ke sekian setelah kami -mentornya - melakukan koreksi sana-sini. Mereka membuat usaha dengan merek "Manisan semi basah : Manggarica".
Perjalanan kelompok ini dimulai dari salah satu peserta yang berasal dari Indramayu. Dia melihat potensi buah mangga yang berlimpah, yang saking berlimpahnya hingga harga di petani nggak karu-karuan. Yang untung cuma tengkulak dan pedagang, potret ironi dunia pertanian kita.
Maka dengan teman-temannya, mereka terfikir membuat keripik Mangga. Mangga Crispy, Mangga Kriuk. Mereka titipkan mangga dengan bis ke Bogor, mengambil ya ke terminal dan mengolahnya dengan Alat sewaan di Laboratorium Kampus.
Tiga bulan berjalan, respon pasar bagus. Tapi nampaknya mereka -waktu itu- nggak terllau semangat meneruskan usaha ini. Kami menelisik, ternyata karena keuntungannya terlalu kecil.
"Berapa kalian dikirim orang tua untuk hidup di Bogor", Tanya saya setelah melihat laporan keuangan mereka. Rata-rata menjawab Rp 1 jutaan per bulan.
"Lalu, bagaimana kalian akan semangat meneruskan usaha kalian ini, kalau dalam 3 bulan untungnya hanya Rp 2 juta dan itupun masih harus dibagi berempat", tanya saya lagi.
Dan inilah rata-rata kelemahan para pemula. Mereka canggih berhitung usaha di atas kertas, BEP, IRR, PBP ... tapi lupa bahwa usaha itu mencari keuntungan. Itu mengapa banyak pemula, terutama mantan karyawan yang bermimpi menjadi pengusaha itu enak dan indah, kejeblos.
Lalu kami berdiskusi. Mereka bercerita dari hulu hingga hilir. Persoalan utama mereka adalah, setiap "batch" produksi, mereka tak bisa memproduksi lebih dari 20 kilogram. Kendalanya karena mereka musti antri alat pengering di laboratorium. Membeli alat jelas muskil. Sehingga banyak pesanan produk tertunda gara-gara ini.

Lalu kami berfikir keras menemukan solusi keterbatasan alat dan teknologi ini. Beberapa mentor yang kebetulan dosen memberikan beberapa alternatif teknologi, yang tak banyak bisa membantu produktivitas. Selalu kembali lagi mentok di alat. Padahal, kunci keuntungan yang "cukup" datang dari produktivitas.
Maka saya datang dengan ide yang sama sekali tidak canggih. Ide itu adalah me-redefinisi- kata kering. Apakah kata kering tak harus berarti crispy, kriuk... setengah basah juga bisa disebut kering kan? Seperti cucian yang baru keluar dari alat peras mesin cuci.
Kami sepakat. Maka ini adalah produk "Semi Basah" atau rada kering. Pengolahannya jauh lebih sederhana tak perlu antri alat di laboratorium, produktivitas melejit hampir 1000 %, artinya profit juga melejit 1000 %. Mereka semangat kembali mengerjakannya.
Itulah hidup. Kadang kita berfikir terlalu canggih, terlalu hebat ... sampai kita lupa bahwa SATU KATA bisa mengubah dunia. Ubahlah satu definisi kata dalam otak, maka mungkin akan berubah juga hidup anda. Seperti kata "ibukota" atau "kerja", misalnya.
Maka berhati-hatilah saat berkata-kata.
Seperti biasa, sebelum penjurian dimulai, kami -para juri- berkumpul untuk briefing, beberapa kangen-kangenan karena "kopdar" setahun sekali ini. Keresahan kami sama, adakah para peserta tahun sebelumnya, baik yang menang atau tidak, menjalankan benar-benar misi hidupnya sebagai wirausahawan? Jawabannya : Tidak. Kenapa?
Belakangan setelah melakukan penjurian pada peserta tahun 2017 ini saya menemukan salah satu jawabannya.
Kelompok ini kebagian presentasi pukul 11.30-12.00 dan mereka datang komplit, berempat. Ini adalah proposal mereka ke sekian setelah kami -mentornya - melakukan koreksi sana-sini. Mereka membuat usaha dengan merek "Manisan semi basah : Manggarica".
Perjalanan kelompok ini dimulai dari salah satu peserta yang berasal dari Indramayu. Dia melihat potensi buah mangga yang berlimpah, yang saking berlimpahnya hingga harga di petani nggak karu-karuan. Yang untung cuma tengkulak dan pedagang, potret ironi dunia pertanian kita.
Maka dengan teman-temannya, mereka terfikir membuat keripik Mangga. Mangga Crispy, Mangga Kriuk. Mereka titipkan mangga dengan bis ke Bogor, mengambil ya ke terminal dan mengolahnya dengan Alat sewaan di Laboratorium Kampus.
Tiga bulan berjalan, respon pasar bagus. Tapi nampaknya mereka -waktu itu- nggak terllau semangat meneruskan usaha ini. Kami menelisik, ternyata karena keuntungannya terlalu kecil.
"Berapa kalian dikirim orang tua untuk hidup di Bogor", Tanya saya setelah melihat laporan keuangan mereka. Rata-rata menjawab Rp 1 jutaan per bulan.
"Lalu, bagaimana kalian akan semangat meneruskan usaha kalian ini, kalau dalam 3 bulan untungnya hanya Rp 2 juta dan itupun masih harus dibagi berempat", tanya saya lagi.
Dan inilah rata-rata kelemahan para pemula. Mereka canggih berhitung usaha di atas kertas, BEP, IRR, PBP ... tapi lupa bahwa usaha itu mencari keuntungan. Itu mengapa banyak pemula, terutama mantan karyawan yang bermimpi menjadi pengusaha itu enak dan indah, kejeblos.
Lalu kami berdiskusi. Mereka bercerita dari hulu hingga hilir. Persoalan utama mereka adalah, setiap "batch" produksi, mereka tak bisa memproduksi lebih dari 20 kilogram. Kendalanya karena mereka musti antri alat pengering di laboratorium. Membeli alat jelas muskil. Sehingga banyak pesanan produk tertunda gara-gara ini.

Lalu kami berfikir keras menemukan solusi keterbatasan alat dan teknologi ini. Beberapa mentor yang kebetulan dosen memberikan beberapa alternatif teknologi, yang tak banyak bisa membantu produktivitas. Selalu kembali lagi mentok di alat. Padahal, kunci keuntungan yang "cukup" datang dari produktivitas.
Maka saya datang dengan ide yang sama sekali tidak canggih. Ide itu adalah me-redefinisi- kata kering. Apakah kata kering tak harus berarti crispy, kriuk... setengah basah juga bisa disebut kering kan? Seperti cucian yang baru keluar dari alat peras mesin cuci.
Kami sepakat. Maka ini adalah produk "Semi Basah" atau rada kering. Pengolahannya jauh lebih sederhana tak perlu antri alat di laboratorium, produktivitas melejit hampir 1000 %, artinya profit juga melejit 1000 %. Mereka semangat kembali mengerjakannya.
Itulah hidup. Kadang kita berfikir terlalu canggih, terlalu hebat ... sampai kita lupa bahwa SATU KATA bisa mengubah dunia. Ubahlah satu definisi kata dalam otak, maka mungkin akan berubah juga hidup anda. Seperti kata "ibukota" atau "kerja", misalnya.
Maka berhati-hatilah saat berkata-kata.
Comments
Post a Comment