Di halamannya, di tengah hiruk pikuk ramai orang menuju kawasan perbelanjaan Asiatique Riverfront, saya bertemu Haris. Dia anak muda yang baru sebelas bulan magang di Bangkok sebagai resepsionis di Shangrilla Hotel -tepi sungai Chao Phraya yang sibuk- tak jauh dari tempat kami "cangkrukan" malam itu. Asli Lamongan, kuliah perhotelan di sebuah akademi perhotelan di Surabaya yang pasti anda tak pernah dengar mereknya... kecuali anda alumni akademi itu. Dia menggelandang ke Bangkok.
Kenapa Bangkok,
tanya saya. "Sederhana pak, keringat saya dihargai disini",katanya
mantap. Sambil membetulkan kaca matanya yang berulang kali melorot, dia
bercerita bahwa di daearah asalnya, gaji tertinggi seorang "pegawai
hotel" paling lima juta rupiah. "Sebagai resepsionis (magang) saya
dibayar-bersih- setara enam juta rupiah. Di Bangkok dengan enam juta
rupiah, Haris patut hidup di atas layak. Sejahtera.

Di halaman yang dibeton rapi serta bersih, kami ngobrol sambil mengunyah nasi bebek yang disajikan seorang ibu berkerudung, wanita muslim Thailand yang ramah. Ibu penjual nasi bebek ini tak sendiri, setidaknya ada delapan belas kios yang menjajakan masakan halal di sekitar Masjid Jami Al Khoirot. Hal baik selalu menjadi pusat sirkulasi hal-hal baik pula.
Ingatan terlempar pada perjalanan saya ke Hong Kong, Februari lalu. Di Tsim Sha Shui, wilayah "down town" kota Hong Kong yang gegap gempita dengan gedung jangkung dan degup perdagangan, saya bertemu Ali, imigran asli Pakistan yang bekerja di restoran halal Food dekat masjid Jami Kowloon. Sama, waktu itu dengan terbata-bata, kami pun mengobrol panjang. Di halaman masjid, selepas sholat Ashar.
Haris dan Ali pergi jauh dari kampungnya, mencari serta melakukan "sesuatu" yang berbeda.. Mereka meninggalkan kebanggaan mereka sebagai "mayoritas" serta memilih menjadi "minoritas" untuk sebuah tuntutan dasar : penghidupan yang lebih baik.
"Dunia terlalu luas untuk dilewatkan",kata mereka. Sambil menyesalkan perilaku saudara kerabat mereka yang lebih getol bertikai antar mereka sendiri, menciptakan faksi-faksi, memisahkan diri diantara saudara : ketimbang memikirkan-serta bekerja- menciptakan sungai yang bersih, trotoar yang kinclong tiap waktu, memberi atau berbagi lebih banyak, serta mendatangkan "tamu-tamu" yang siap membuang uang di negerinya. Hal-hal yang sebenarnya dibagi-bagikan, diajarkan dalam aneka rupa copas di grup whatsapp dan media sosial lain.
Mungkin memang baru sampai di situ kemahiran kami, membagikan copy-an pikiran orang. Tanpa melakukannya, bahkan membacanya terlebih dahulu. Omdo, kata Mandra dulu di televisi. Malas namun sibuk merasa lebih baik satu sama lain.di sangat relijiyes (kata anak saya menyebut kata relijius). Di tengah keramaian jalan Charoen Krung, bersama Haris anak Lamongan, saya menemukan kedamaian yang seharusnya saya temukan di negeri saya, negeri di mana saya menjadi mayoritas.
"Mas Basri, jadikan semua kesempatan "travelling" sebagai sarana tabayyun, cek crosscek, mencari "kebenaran" dan belajar",nasehat pemuda cungkring 22 tahun di hadapan saya ini. Supaya pikiran kita tak mirip katak yang terkerakap dalam tempurung. Gelap, sempit.
Malam itu -lepas sholat Isya- di depan Masjid Al Khoirot Charoen Krung, kami bersalaman, berpisah, mengambil arah jalan kami sendiri menuju pulang.

Di halaman yang dibeton rapi serta bersih, kami ngobrol sambil mengunyah nasi bebek yang disajikan seorang ibu berkerudung, wanita muslim Thailand yang ramah. Ibu penjual nasi bebek ini tak sendiri, setidaknya ada delapan belas kios yang menjajakan masakan halal di sekitar Masjid Jami Al Khoirot. Hal baik selalu menjadi pusat sirkulasi hal-hal baik pula.
Ingatan terlempar pada perjalanan saya ke Hong Kong, Februari lalu. Di Tsim Sha Shui, wilayah "down town" kota Hong Kong yang gegap gempita dengan gedung jangkung dan degup perdagangan, saya bertemu Ali, imigran asli Pakistan yang bekerja di restoran halal Food dekat masjid Jami Kowloon. Sama, waktu itu dengan terbata-bata, kami pun mengobrol panjang. Di halaman masjid, selepas sholat Ashar.
Haris dan Ali pergi jauh dari kampungnya, mencari serta melakukan "sesuatu" yang berbeda.. Mereka meninggalkan kebanggaan mereka sebagai "mayoritas" serta memilih menjadi "minoritas" untuk sebuah tuntutan dasar : penghidupan yang lebih baik.
"Dunia terlalu luas untuk dilewatkan",kata mereka. Sambil menyesalkan perilaku saudara kerabat mereka yang lebih getol bertikai antar mereka sendiri, menciptakan faksi-faksi, memisahkan diri diantara saudara : ketimbang memikirkan-serta bekerja- menciptakan sungai yang bersih, trotoar yang kinclong tiap waktu, memberi atau berbagi lebih banyak, serta mendatangkan "tamu-tamu" yang siap membuang uang di negerinya. Hal-hal yang sebenarnya dibagi-bagikan, diajarkan dalam aneka rupa copas di grup whatsapp dan media sosial lain.
Mungkin memang baru sampai di situ kemahiran kami, membagikan copy-an pikiran orang. Tanpa melakukannya, bahkan membacanya terlebih dahulu. Omdo, kata Mandra dulu di televisi. Malas namun sibuk merasa lebih baik satu sama lain.di sangat relijiyes (kata anak saya menyebut kata relijius). Di tengah keramaian jalan Charoen Krung, bersama Haris anak Lamongan, saya menemukan kedamaian yang seharusnya saya temukan di negeri saya, negeri di mana saya menjadi mayoritas.
"Mas Basri, jadikan semua kesempatan "travelling" sebagai sarana tabayyun, cek crosscek, mencari "kebenaran" dan belajar",nasehat pemuda cungkring 22 tahun di hadapan saya ini. Supaya pikiran kita tak mirip katak yang terkerakap dalam tempurung. Gelap, sempit.
Malam itu -lepas sholat Isya- di depan Masjid Al Khoirot Charoen Krung, kami bersalaman, berpisah, mengambil arah jalan kami sendiri menuju pulang.
Comments
Post a Comment