"Suami saya sudah membuat SURAT WASIAT yang menyatakan 90% harta akan menjadi milik saya saat dia meninggal dunia. Jadi kenapa musti pusing punya Asuransi segala?",Tanya seorang ibu dalam sesi tanya jawab Customer Gathering di Surabaya akhir bulan lalu.
Kita tahu, bahwa hati manusia soal uang tak bisa ditebak. Kita sering melihat dalam berita, banyak orang yang kelihatan selalu tampil bak "calon ahli surga" dicokok KPK karena tertangkap tangan menerima suap.
Pertanyaan ibu itu mengingatkan saya pada kisah ibu Bunga yang digugat oleh anak-anaknya, karena menerima Surat Wasiat dari almarhum suaminya atas 90% harta warisan suaminya.
Ibu Bunga digugat oleh anaknya, dan Pengadilan memutuskan ibu Bunga untuk "mengembalikan" apa yang telah diterima dari (surat wasiat) atas harta waris suaminya kepada anak-anaknya.
Ibu Bunga tidak mengetahui, bahwa ada batasan-batasan dalam pembuatan Surat Wasiat. Surat wasiat tidak boleh menyimpang dari asas penting Hukum waris sesuai pasal 874 KUHPerdata.
Ada HAK MUTLAK dari ahli waris lain (cq. ANAK) yang tak bisa dilanggar, ini yang disebut Legitimate Portie (pasal 913 KUHPerdata).
Menerima 90% harta waris melalui surat wasiat jelas melanggar hak anak. Dan anak berhak menuntut haknya yang terlanggar itu, sesuai bagian yang telah ditetapkan pada pasal 914-916 KUHPerdata.
Lalu apa yang seharusnya ibu Bunga (atau istr-istri lain) lakukan sebagai antisipasi?
Seharusnya dulu, ibu Bunga dengan senang hati menerima keputusan suaminya membuat Polis Asuransi dengan Uang Pertanggungan senilai 100% dari Nilai Harta yang dimiliki suaminya saat itu.
Karena Polis Asuransi bukanlah Hibah atau Wasiat, maka anak tak bisa menggugat apa yang disebut 'Legitimate Portie" itu. Anak-anak akan menerima bagiannya melalui Proses Waris sesuai Hukum.
Sayang, dulu ibu Bunga memilih ketemu Penjual Tas daripada Agen Asuransi.
Nasi sudah menjadi kerak.
Comments
Post a Comment