Ibu Ali sudah menikah dengan pak Ali nyaris tigapuluh tahun, dan sangat berduka saat pak Ali meninggal seminggu yang lalu.
Dua anak perempuan mereka datang dari rantau, menemani di rumah masa kecil mereka yang ditempati bu Ali (dan pak Ali sampai akhir hayatnya) hanya tiga hari, karena harus kembali ke kotanya, bekerja.
Hanya rumah sederhana, yang mungkin kalau dijual harganya tak lebih dari Rp 1 Miliar, yang ditinggalkan pak Ali. Tidak ada asset lain yang cukup bernilai ditinggalkan.
Dua anak perempuan mereka datang dari rantau, menemani di rumah masa kecil mereka yang ditempati bu Ali (dan pak Ali sampai akhir hayatnya) hanya tiga hari, karena harus kembali ke kotanya, bekerja.
Hanya rumah sederhana, yang mungkin kalau dijual harganya tak lebih dari Rp 1 Miliar, yang ditinggalkan pak Ali. Tidak ada asset lain yang cukup bernilai ditinggalkan.
Empat hari setelah anak-anak pulang ke kotanya masing-masing, datang orangtua pak Ali (tepatnya Ibunya) bersama tiga adik lelaki pak Ali.
Ibu mertua bu Ali adalah tipe mantan istri pejabat masa lalu. Walau usianya sudah 70 tahunan, tapi masih gesit dan selalu tampil dengan rambut sasak tinggi. Sepertinya, saking berat sasak rambutnya, kelihatan kalau berjalan selalu agak mendongak, dagunya mencuat ke atas.
Adik pak Ali juga tipe anak yang bergantung pada (sisa) kekayaan dan kejayaan orang tua. Tak memliki pekerjaan atau usaha yang "jejeg".
Perkawinan pak Ali dan bu Ali dulu tak direstui orangtua pak Ali, karena dianggap bu Ali datang dari keluarga "biasa saja". Bahkan selama nyaris dua bulan pak Ali terbaring sakit, sang Ibu dan adiknya hanya sekali menengok, itupun tak lebih dari 15 menit.
Ibunya pak Ali dan adik-adiknya datang menuntut bagian mereka atas Harta Waris dari pak Ali, terutama tanah dan rumah yang kini ditempati bu Ali. Mereka menghitung, bagian mereka atas rumah itu adalah sekitar 208 juta (1/6 dan 1/24 bagian dari Rp 1 Miliar), sedangkan bagian bu Ali hanyalah Rp 125 juta.
Ibu yang bersasak tinggi mendesak hak mereka segera dibagi, sementara ibu Ali tak memiliki cukup uang tunai untuk membayar hak mereka.
Belum lagi, bagian anak-anak. Mereka adalah Anak Yatim yang memiliki hak yang juga tak boleh dilanggar, meski oleh ibunya sendiri. Karena "memakan" hak anak yatim jelas dilarang keras oleh agama.
Rumah harus dijual dulu? Ya. Tapi apakah bisa mudah, cepat dan nilainya sesuai harapan? Lalu kalau rumah dijual, ibu Ali yang masih berduka harus tinggal dimana dengan Rp 125 juta bagian dia?
Pernah ketemu kasus seperti ini? Dan tahukan anda bahwa Agen Asuransi adalah orang yang bisa anda temui untuk mengantisipasi kejadian ini.

Adik pak Ali juga tipe anak yang bergantung pada (sisa) kekayaan dan kejayaan orang tua. Tak memliki pekerjaan atau usaha yang "jejeg".
Perkawinan pak Ali dan bu Ali dulu tak direstui orangtua pak Ali, karena dianggap bu Ali datang dari keluarga "biasa saja". Bahkan selama nyaris dua bulan pak Ali terbaring sakit, sang Ibu dan adiknya hanya sekali menengok, itupun tak lebih dari 15 menit.
Ibunya pak Ali dan adik-adiknya datang menuntut bagian mereka atas Harta Waris dari pak Ali, terutama tanah dan rumah yang kini ditempati bu Ali. Mereka menghitung, bagian mereka atas rumah itu adalah sekitar 208 juta (1/6 dan 1/24 bagian dari Rp 1 Miliar), sedangkan bagian bu Ali hanyalah Rp 125 juta.
Ibu yang bersasak tinggi mendesak hak mereka segera dibagi, sementara ibu Ali tak memiliki cukup uang tunai untuk membayar hak mereka.
Belum lagi, bagian anak-anak. Mereka adalah Anak Yatim yang memiliki hak yang juga tak boleh dilanggar, meski oleh ibunya sendiri. Karena "memakan" hak anak yatim jelas dilarang keras oleh agama.
Rumah harus dijual dulu? Ya. Tapi apakah bisa mudah, cepat dan nilainya sesuai harapan? Lalu kalau rumah dijual, ibu Ali yang masih berduka harus tinggal dimana dengan Rp 125 juta bagian dia?
Pernah ketemu kasus seperti ini? Dan tahukan anda bahwa Agen Asuransi adalah orang yang bisa anda temui untuk mengantisipasi kejadian ini.
Comments
Post a Comment