Siang itu cuaca seakan ikut berduka. Prosesi pemakaman sudah selesai, beberapa teman dan kerabat yang mengantar jenazah pak Robi (sebut saja namanya begitu) pulang meninggalkan pusara dan gundukan tanah merah kuburan baru itu.
Istri dan tiga anak almarhum masih belum mau beranjak dari sana ketika datang seorang perempuang muda, sekitar 30-an tahun menggandeng seorang anak lelaki kecil.
"Saya dinikah siri oleh pak Robi, dan ini anak beliau",kata perempuan (sebut saja istri muda) yang menjadi semacam geledek di cuaca mendung bagi istri dan anak-anak almarhum.
Lalu hari-hari diisi dengan pertentangan harta waris almarhum, karena si istri muda menuntut hak waris atas anaknya.
Seorang istri yang dinikah secara siri, umumnya tidak memiliki dokumen sah yang diakui oleh negara. Seperti surat nikah, misalnya. Ketika anaknya lahir, anak hanya akan memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Artinya, dia tak bisa mendapatkan harta waris dari ayah yang menikahi ibunya secara siri.
Namun ...seorang anak bisa menuntut Hubungan Perdata dengan ayahnya, sebagaimana yang dimuat pada putusan MK n
o 46/PUU-VIII/2010. Dengan memiliki hubungan perdata, maka terbuka pintu Hak-nya untuk memiliki Legitimate Portie (alias Porsi Memaksa) atas Harta Waris ayahnya.

Dengan adanya Hak ini, seorang anak yang lahir melalui perkawinan yang tidak sah menurut negara (atau anak luar kawin) akan berpotensi "mengurangi/mengambil" hak istri sah almarhum.
Biasanya, dalam banyak kasus klien yang saya tangani, saya selalu menganjurkan orang seperti pak Robi membuat Asuransi Jiwa yang CUKUP untuk MENAMBAH porsi istri sah-nya yang berpotensi terkurangi oleh anak yang "muncul belakangan" ini.
Tapi konsep ini memang tidak untuk semua orang. Konsep ini memang hanya berlaku bagi orang-orang yang memiliki harta banyak, dan berpotensi ahli warisnya bersengketa waris.
Jadi, sekali lagi : Asuransi bukan sekedar urusan Sakit dan Mati.
Comments
Post a Comment