Skip to main content

Bukan Kiswinar. Bukan Machicha. Ibu Andi dan Pak Uda

Ini sedikit kisah sederhana saja. Soal yang beberapa kali terjadi, soal waris-mewaris.
Pak Uda, asli Minang menikah dengan bu Andi yang orang Bugis. Pak Uda dan bu Andi (kelihatan) bahagia dengan pernikahan mereka, apalagi setelah hadirnya dua anak buah cinta mereka : Budi dan Ani.

Bisnis pak Uda makin maju. Apartemen dan Rukonya tersebar di mana-mana.
Tapi, mungkin itulah godaan kaum lelaki. Tanpa sepengetahuan bu Andi, pak Uda terpikat, dan belakangan menikah siri dengan si Iteung. Dari pernikahan sirinya dengan si Iteung, lahirlah Asep. Dunia masih damai sejahtera.

Suatu kali, pak Uda mau mengembangkan bisninya, dan mengajukan pinjaman modal ke Bank serta meng-agunkan-kan tiga buah rukonya pada bank. Dan karena pinjamannya tersebut, Bank mensyaratkan pak Uda memiliki Polis Asuransi Jiwa (terkait kredit Itu), dengan Penerima Manfaat (Beneficiary) 50% bu Andi (istri sah), 25% Ani dan 25% Budi.

Namun, namanya umur tak ada yang bisa menyangka panjangnya. Setahun kurang dua hari sejak pinjaman cair, cicilan baru berjalan 12 kali dari seharusnya 24 kali, pak Uda meninggal dunia.
Maka Cairlah Klaim Asuransi untuk melunasi sisa kewajiban setelah dibagi sesuai amanat dalam Polis. Sisanya dipakai untuk melanjutkan hidup Bu Andi, Budi dan Ani. Harta warispun dibagi.
Hingga beberapa tahun kemudian muncul si Iteung membawa Asep datang ke rumah bu Andi, membawa beberapa foto dokumentasi perkawinannya dengan (Alm) pak Uda. Bu Andi kaget, namun tak terima. Si Iteung menuntut harta waris pula, untuk Asep, anaknya. Harta waris sudah habis terbagi, dan Iteung belum bisa membuktikan Asep adalah anak (biologis) pak Uda.

Iteung berjuang, habis-habisan. Apa yang dia tuntut? HAK PERDATA anaknya, pengakuan dari negara bahwa Asep adalah juga anak pak Uda. Upayanya berhasil, Asep -berdasar hasil tes DNA- diakui sebagai anak pak Uda.

Iteung menuntut hak waris anaknya berdasar Hukum Waris Barat (KUHPerdata). Maka berdasar Hukum Waris tersebut, Asep berhak menerima Harta Warisan dari alm Pak Uda, Asep memiliki Hak Memaksa (Legitimate Portie). Si Iteung sendiri tak punya Hak Waris atas harta alm. Pak Uda, karena bukan istri dari pernikahan yang sah menurut UU (Perkawinan)

Namun apa lacur, Harta Waris sudah habis dibagi beberapa tahun lalu, tak ada lagi yang tersisa. Maka akhirnya pengadilan "memaksa" bu Andi mengeluarkan hak Asep dari Harta Waris yang diperolehnya, sesuai porsi. Seorang istri memang tak memiliki Hak Memaksa (Legitimate Portie).
Beruntungnya, klaim Asuransi Jiwa dari pak Uda yang dimiliki bu Andi tidaklah termasuk obyek Harta Waris yang harus dibagi pada Asep. Asep mendapatkan Harta Warisnya, bu Andi harus "rela" membagikan haknya pada anak yang tak pernah dia kenal sebelumnya.

Maka, buat Ibu-Ibu, itulah gunanya Asuransi Jiwa. Maka, selain tas atau perhiasan, mintalah suami menyiapkan Uang Pertanggungan yang "cukup" dari Asuransi yang dimilikinya, dan pastikan anda-para istri- adalah nama yang tertulis dalam Polis, sebagai Penerima Manfaat.

---------------
** Kisah Nyata yang dibikin cerita. Kalau masih belum yakin, boleh browsing perjuangan Machicha Mochtar, Kiswinar Mario Teguh dan lain-lain. Selamat merenung dan membaca.

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG