Matahari mulai tinggi saat kaki saya jejakkan di Svarnabhumi Airport,
Bangkok awal tahun 2015 lalu. Kulit
langsung tersengat terik matahari sekeluar dari pesawat yang selama 3.5 jam
membawa saya dari Jakarta. Saya berfikir, ah pasti bandaranya mirip-mirip
bandara kita di Cengkareng, atau agak modern sedikit desainnya dibanding bandara
Kuala Namu di Medan yang masih kinyis-kinyis itu.
BERKALI-KALI KECELE
DAN SALAH
Bandara Svarnabhumi Bangkok ternyata diluar dugaan
saya. Kemegahannnya tak kalah dari
beberapa bandara modern yang pernah saya injak : Changi di Singapura, Pudong di
Shanghai atau HKIA di Hong Kong. Asli,
saya kaget dan tersipu malu dalam hati.
Memasuki area antrian imigrasi, saya seperti merasa berada di
Eropa. Para pengantre di konter imigrasi
semua “bule”, tak banyak saya temukan
kulit sawo matang seperti saya, kecuali petugas yang sibuk berlalu lalang.
Iseng–iseng saya colek, pria yang mengatre di depan saya. ”I
am from Russia, looking for sun here at Pattaya,” katanya dengan Bahasa Inggris
yang terbata-bata. Pikir saya, mereka
jauh-jauh datang dari Eropa hanya untuk mencari matahari, sedang kulit saya
yang coklat tua ini kadang sudah sibuk ingin menghindar bila matahari sedang
terik menyengat siang hari. Urusan
imigrasi selesai, saya berbegas menuju pintu keluar dimana local guide sudah menunggu untuk menjemput saya. Makin takjub saya, saat dijemput dengan
sebuah kendaraan Van mewah, yang biasa dipakai para pejabat di Indonesia. Rupanya mobil van tersebut memang standard
mobil yang dipakai perusahaan Travel di Bangkok untuk penjemputan tamu. Yang suatu kali saking penasaran, saya tanya
pada guide saya itu mengapa jarum penunjuk bahan bakar tak turun-turun padahal
mobil sudah kami pakai berkeliling hingga ke Pattaya, jarak sekitar 140 km
dengan dua jam perjalanan dari kota Bangkok.
Dia bilang, hampir semua mobil sejenis di Thailand sudah menggunakan
bahan bakar gas. Pantas saja saya lihat
bis-bis kota, walau tampilannya tak beda jauh dengan bis kota di jakarta,
knalpotnya tak menyemburkan asap hitam.
Thailand bukanlah negara yang lahir serta didesain dengan tata
kota hebat seperti Singapura
misalnya. Tapi perjalanan mengeliling
Thailand mematahkan semua anggapan saya, bahwa negara yang masih politiknya
masih kerap bergolak tak bisa berbenah.
Jalanan dari Bandara Svarnabhumi mulus, walau pada saat jam sibuk sama
macetnya dengan Jakarta. Perjalanan dari
kota Bangkok ke Pattaya, sejauh 140 kilometer hanya dibutuhkan 2 jam perjalanan
dengan rata-rata kecepatan 120 km per jam.
Bandingkan dengan perjalanan kita dari Bogor-Cawang via Jagorawi di pagi
hari. Tak sampai 60 km tapi memerlukan
waktu –kadang- hingga 2 jam.
Dari awal, saya sudah bilang pada guide, saya ingin menginap
di hotel yang tak berada di “downtown”. “Saya ingin mencoba semua moda
transportasi di Bangkok,”demikian saya mewanti-wanti. Dan akhirnya saya diantar ke sebuah hotel bintang
empat di kawasan Ramkhamhaeng, yang di belakangnya mengalir sungai. Saya pikir ini sungai biasa semacam sungai
Banjir Kanal di Semarang, Ciliwung di
Jakarta atau Bandar Bekali di kota Padang.
Airnya hitam keruh, baunya “semerbak” pula. Tapi saat saya sudah berada di lantai 14
hotel, dari jendela saya baru tahu bahwa sungai ini adalah salah satu urat nadi
lalu lintas warga. Setiap 10 menit,
lewat perahu –mungkin daya tampungnya sebesar bis kota – yang hilir mudik membawa
warga ke pusat kota. Menarik.
Menghapus rasa penasaran, setelah puas eksplorasi aneka
jajanan kaki lima (jangan khawatir, banyak pedagang makanan halal di sepanjang
Jl Ramkhanghaeng), saya putuskan siang itu menuju ke pusat keramaian, pusat
perdagangan kota Bangkok : kawasan Siam Center.
Setelah riset kecil kanan kiri, maklum –bahkan di hotel- sulit menemukan
orang yang paham bahasa Inggris, sebelum tengah hari saya sudah berdiri di atas
Ramkhamhaeng Pier 39. Ini adalah semacam
halte, dermaga kecil tempat kita menunggu perahu “bis kota” menuju Siam
Centre. Tak perlu menunggu lama, naiklah
saya ke perahu ke Pusat Kota. Aroma
“sedap” dari air sungai meruap, tapi tak menjadi halangan untuk para penumpang
di perahu untuk sibuk dengan gajetnya masing-masing. Tak perlu waktu lama, walau di tiap halte
harus berhenti, perahu sudah bersandar di pier Siam Centre. Cukup dengan 5 baht atau setara sekitar Rp
2.000 : bebas macet, bebas lama.
Lagi-lagi saya kecele dan salah sangka. Siam Centre saya bayangkan serupa kawasan
Mangga Dua di Jakarta. Panas, semrawut,
macet dan ruwet. Ternyata salah. Ini lebih mirip kawasan Nanjing Road di
Shanghai. Di atas kepala berseliweran
beton jalur kereta commuter. Tak
main-main, dua susun. Salah satu kawasan
perbelanjaan di situ, penuh berisi “bule” yang sedang berbelanja. Lagi-lagi, saya seperti sedang berada di
Eropa ketimbang berada di sebuah negara di Asia Tenggara yang baru beres
diguncang demo besar untuk menunrunkan salah satu petinggi negaranya. Kawasan pedestrian yang tertata rapi, membuat
turis nyaman berkeliling dengan berjalan kaki.
Setelah potrat sana-potret sini, saya putuskan menuju sebuah tempat yang
kabarnya “Indonesia banget” : Chatuchak Weekend Market.
KUNCI SUKSES :
KESUNGGUHAN
Bergegas saya menuju station Siam Centre. Jangan bayangkan stasion keretanya seperti
Stasion Depok sekalipun. Stasiun BTS (skytrain,
lewat atas tanah) atau MRT (lewat bawah tanah) sudah mirip stasiun di atas
kereta di Singapura. Modern, bersih dan
ramah turis : papan informasi jelas dan ada di setiap sudut. Di atas kereta BTS yang kelihatan masih baru,
duduk di sebelah saya seorang lelaki setengah baya yang dengan ramah menyapa. “
Saya dari Indonesia,” jawab saya saat dia menanyakan asal. Dengan sumringah dia
menjabat tangan saya, dan dengan bahasa Inggris yang terbata-bata dia bilang
”Indonesia itu negara hebat, baik.
Terimakasih pada presiden anda Bp Soekarno yang memberikan bibit Durian
pada Raja kami. Kini kami menjadi
eksportir Durian terbesar di dunia,”.
Walau tersenyum manis, hati saya kecut.
Dia benar, bibit durian dulu kami yang beri, namun akhirnya kamilah yang
menjadi eksportir terbesar Durian Bangkok.
Ironis.
Chatuchak, tujuan saya kali ini, tadi dibilang “Indonesia
banget”. Ya, pasar ini hanya buka hari
Sabtu dan Minggu saja. Pantas namanya
Weekend Market. “Indonesia banget”
karena ini mirip Pasar Kaget di Lapangan Sempur kota Bogor atau Pasar kaget Lapangan
Gasibu di Bandung. Hanya saja, ditata
sedemikian rapi, dengan jumlah kios yang spektakuler : hampir 4.000 kios yang
menjual aneka rupa barang dari produk fashion hingga pernak-pernik oleh-oleh
khas Thailand. Walau “Indonesia banget”,
tapi kita musti “belajar banget” dari pengelolaan Chatuchak Weekend market
ini. Dari kemudahan akses hingga
pengelolaan serta penataan kios. Jangan
lagi tanya berapa perputaran omzetnya.
Strategi Thailand membuka diri pada turis dengan memberikan
akomodasi yang sangat layak (ingat mobil Van Mewah yang mengantar saya dari
bandara ke Pattaya) serta berbagai insentif lainnya, rasanya, adalah kunci
suksesnya. Turis, dan bahkan investor
pasti melihat ada kesungguhan Pemerintahan Thailand –walau kerap dilanda
konflik politik- membuat mereka tak ragu datang serta menanamkan uangnya di
negeri Gajah ini. Kesungguhan dalam
menyusun pola tata ruang negeri yang hebat, tata kelola kota yang bagus membuat
Thailand –khususnya Bangkok- menjadi kota dunia. Kesungguhan pemerintah juga diikuti
kesungguhan rakyatnya dalam menyongsong perubahan ke arah yang lebih baik.
Sekali lagi, saya belajar bahwa KESUNGGUHAN adalah kunci
dari kesuksesan. Dari Thailand, negeri
para Gajah saya belajar.
**Dimuat di majalah MEDIA TATA RUANG, Edisi Juli 2015
Comments
Post a Comment