Skip to main content

MEMBAYAR IURAN BUKAN MENABUNG



Saya "capture" gambar ini di sebuah forum diskusi, tentang seorang ibu yang merasa dirugikan karena sudah membayar iuran BPJS kesehatan namun tidak di-cover biaya perawatan giginya. Dibandingkanya iuran yang disetor dengan manfaat yang didapat.

Saya dulu pernah menulis bahwa BPJS Kesehatan adalah Jaminan Sosial berbasis iuran, mirip asuransi tapi bukan asuransi. Kok gitu?

Ya, cara kerjanya mirip. Peserta menyetor iuran, lalu iuran yang terkumpul dipakai untuk membantu peserta yang KEBETULAN terkena risiko sakit.

Bedanya, dalam asuransi ada pengelompokan (iuran) anggota berbasis kesamaan tingkat risiko para anggota tersebut berdasar kriteria umur, jenis kelamin, lokasi tinggal dan lain-lain. Itulah proses underwriting.

Sedangkan BPJS kesehatan tidak seketat itu prosesnya, karena sekali lagi, ini jaminan sosial. Maka prinsip "sama rasa, sama rata" yang dikedepankan. Yang mampu membantu yang lemah.  Sehingga, bagi orang yang terlanjur punya "standar tinggi", pelayanan BPJS akan terasa "menyiksa"... Ya, karena "sama rasa, sama rata" tadi tidak dirancang untuk standar tinggi. Dengan rancangan standar tinggi, jatuhnya iuran akan sangat mahal dan menjadi tidak terjangkau bagi kalangan ekonomi lemah.

Dan di sinilah peran Asuransi Kesehatan Swasta. Mengisi ceruk kebutuhan orang-orang dengan permintaan standar pelayanan "tinggi". Orang-orang yang mau membayar lebih untuk mendapatkan lebih.

Lalu mengapa BPJS kesehatan dan Asuransi Swasta menerapkan pembatasan-pembatasan layanan, ada yang di-cover, ada yang nggak?  Kembalikan lagi ke Prinsip Manajemen Risiko, bahwa tidak semua Risiko bisa dialihkan ke Asuransi.

Asuransi hanya mengcover Risiko-risiko yang bila Risiko itu tanpa diduga terjadi (dan frekuensi kejadiannya rendah), akan memiliki dampak Finansial yang fatal.

Jadi membayar iuran BPJS Kesehatan atau Premi Asuransi itu bukan seperti menabung. Saya menyimpan 10 dan akan mendapatkan 10.

Membayar iuran atau premi haruslah didasarkan pada pemikiran : kalau aku nggak sakit, maka iuranku akan dipakai untuk membantu orang lain (sesama pembayar iuran) yang sakit. Dan bila ternyata aku yang sakit, aku bayar iuran 10 dan tagihanku 100, maka peserta lain juga dengan "sukarela" akan membantuku melunasi tagihan itu.

Jadi jelas ya, membayar iuran atau premi asuransi bukanlah menabung.

Lagian... Minta layanan standar tinggi, tapi kok maunya bayar murah. Daylight dreaming lah...

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG