Skip to main content

Mas Adi, Tukang parkir depan Bakso PMI Sempur

Saya pikir dia salah satu orangtua yang menunggu anaknya pulang studytour, malam itu pukul 11 malam di lapangan Sempur.

Hingga kami ngobrol di depan warung bakso yang sudah tutup, di bawah siraman lampu neon 10 watt. Di bangku kayu yang sedikit basah tersiram hujan.

Adi, begitu namanya. Umur kami sebaya, tapi dia (dulu) menikah muda. Anak sulungnya, kini sudah dua tahun bekerja di percetakan Gramedia. " Dia kemarin bilang, sudah bisa "ngredit" motor dari jerih payahnya bekerja", terselip nada bangga di balik kata-katanya.
"Hidup saya berliku-liku mas," katanya ketika mengetahui saya berasal dari Semarang. "Adik saya ada yang jadi tentara, adik wanita saya jadi dosen di Semarang, dan sata jadi tukang parkir", lanjutnya.

Saat dia berdiri, membantu sebuah mobil dia terpincang-pincang berjalan.
Seakan bisa membaca jalan pikiran saya, dia berkata",Saya dulu kepala satpam di mal Jambu Dua, hingga kemudian dirasionalisasi karena mal mulai memakai tenaga outsource. Saya kehilangan penopang hidup, dan mulai mencari pekerjaan lagi. Sebagai Satpam. Setelah melalui 8 kali tes, sore ini -saat langit mendung- saya diterima dan menerima surat tugas sebagai sekuriti sebuah bank di daerah Tajur-Bogor", kenangnya.

Dari kantor pusat perusahaan jasa sekuriti yang menerimanya, di daerah Warung Buncit, dia pulang menumpang motor seorang teman yang berbaik hati memboncengnya sampai stasiun Tanjung Barat. Hujan mulai tercurah dari langit.

Sesampai di bawah jembatan layang Tanjung Barat, dia turun. Dan berjalan meniti rel menuju stasiun Tanjung Barat.Dari kantor pusat perusahaan jasa sekuriti yang menerimanya, di daerah Warung Buncit, dia pulang menumpang motor seorang teman yang berbaik hati memboncengnya sampai stasiun Tanjung Barat. Hujan mulai tercurah dari langit.

Sesampai di bawah jembatan layang Tanjung Barat, dia turun. Dalam rinai hujan, dia berjalan meniti rel menuju stasiun Tanjung Barat. Hingga sampailah dia di Peron stasiun. Posisi peron kurang lebih setinggi dada orang dewasa dibandingkan rel, dan dia melompat ke atasnya, dalam kuyup air hujan dan hati yang gembira karena bisa membawa kabar baik untuk anak istrinya : sudah dapat kerja.
Dia melihat seorang ibu, kurang lebih 5 meter di depannya, seperti mengatakan sesuatu padanya. Tapi tak bisa didengar dan dipahaminya, hingga tiba-tiba serasa ada sebuah kekuatan besar merenggut tas ransel yang dibawanya. Dia terpelanting jatuh di peron, terbanting dan berguling beberapa kali serta tersadar tak bisa merasakan apa-apa. Sebuah KRL ekonomi dari Jakarta menyambarnya.

Dia masih mengingat, Adzan Maghrib baru berkumandang ketika penumpang yang baru turun dari kereta mengerumuninya. Satu persatu "penonton" mulai pergi, hingga seorang pria berseragam TNI berbisik kepadanya,"Mas, anda sepertinya terluka, jangan bergerak saya akan bantu kontak keluarga dan kantor anda. Saya akan tunggu sampai keluarga anda datang". Yang dia rasakan tangan dan kakinya tak bisa digerakkan, haus dan lapar. Dua jam kemudian, sambil tetap terbaring di peron datangnya supervisornya dari kantor, dan memutuskan agar mas Adi segera dibawa ke RS Fatmawati. Pria berseragam TNI seperti mengatakan sesuatu pada supervisor dan petugas stasiun yang nampak kebingungan. Rupanya, mereka kesulitan mencari tandu untuk membawanya. Tangan dan kakinya sudah tak singkron bentuknya karena patah tulang parah.

Walhasil, pria berseragam TNI menemukan cara, dia jebol pintu WC statsiun dan dijadikan tandu, dan berbegas membawa mas Adi ke RS Fatmawati dengan sebuah mobil bak yang sukarela membantu, di bawah rinai hujan, tanpa atap, tanpa payung. Pukul 11 malam, dokter datang dan geleng kepala menyankisakannya masih hidup, tetap bercanda, minta minum dan makan. Dalam kondisi yang orang lain "mungkin sudah" lewat. Singkat cerita, karena tak memliki asuransi, dengan bantuan keluarga, pria berseragam TNI, supervisor kantor malam itu terkumpul uang Rp 23 juta untuk mengoperasi mas Adi. Operasi berjalan lancar, empat buah pen ditanam di tangan dan kaki, serta perlu pemulihan kondisi selama 28 hari di Rumah Sakit.

Adalah semacam kiamat, bagi seorang satpam yang dituntut Samapta hidup dengan tangan dan kaki disambung pen logam. Setahun dia berusaha memulihkan kembali kondisinya. Berbaring, berkursi roda, memakai tongkat dan berakhir sebagai seorang pria pincang yang akhirnya kehilangan pekerjaannya. Tahun 2008, mas Adi tak lagi bisa menjadi satpam, mengandalkan tongkat penyangga memutuskan aktif mengurusi masjid kompleks dekat kampungnya sebagai pengisi waktu luangnya.
Si sulung harus masuk SMP, dan dia tiada biaya. Hingga pagi itu, dengan tabungan yang dia miliki, serta sedikit uang dari bantuan saudara terkumpul Rp 1.000.000,- dia bawa anaknya mendaftar ke sebuah sekolah swasta di Bogor. Dia hanya mendengar di sekolah ini, ada beasiswa untuk anak tak mampu asal memiliki prestasi. Total biaya pendaftaran Rp 3.000.000,- dengan uang sejuta dia hanya bisa memberikan janji pada sekolah untuk segera melunasinya.

Siang belum genap sepulang mendaftarakan sekolah, tiba-tiba datang serombongan orang ke masjid yang sedang dibersihkannya. Seorang yang berwajah bersih, sepertinya pimpinan rombongan itu mendekatinya, dan mengajaknya berbincang di teras masjid.

"Mengapa tangan dan kakimu?", Pria berwajah bersih itu membuka pembicaraan. dan dia menceritakan kejadian setahun lalu padanya, apa adanya. "Lalu apa pekerjaan untuk anak istrimu dan anakmu sekolah di mana",tanya pria berwajah bersih itu lagi. Dengan terbata dia bilang belum bisa mendapatkan pekerjaan lagi karena belum lancar berjalan, pekerjaanya hanya merawat dan memakmurkan masjid yang suah lama ditinggalkan penduduk kompleks dekat kampungnya. Hingga dia bercerita baru saja pulang mendaftrakan anaknya ke sebuah sekolah swasta di Bogor (dia menyebut nama sekolah swasta itu) supaya bisa mendapat beasiswa, yang membuat paras pria berwajah bersih itu berubah.

Pria itu seperti memerintahkan pada orang yang duduk di belakangnya,"Cek nama anak ini (Fadhil) dan pastikan dia diterima. Uang pendaftaran dan uang sekolah akan dibebaskan bila dalam 3 bulan pemantauan nilai ulangannya selalu terbaik", katanya tegas.

Mas Adi terkejut, saat mengetahui Pria berwajah bersih itu adalah pemilik sekolah swasta itu. Fadhil diterima, dan karena prestasinya akademisnya, dia bebas biaya sepeserpun. Dia lulus SMP itu dan mendaftar ke Sebuah SMK terbaik di Jawa Tengah, hingga lulus juga tanpa biaya karena prestasi akademis dan perannya membuat tim futsal SMK-nya berjaya. Dia, Fadhil, sudah bekerja, sudah bisa mengirim uang untuk orang tuanya, dan mencicil sepeda motor sebagai "simbol" hasil kerja kerasnya.
Mas Adi, hingga kini, bisa anda temui di depan Bakso PMI cabang Lapangan Sempur, membantu parkir dengan kaki terpincang memungut seribu dua ribu perak untuk hidup. Namun mas Adi kelihatan lebih muda dari umurnya, mungkin karena senyum selalu tersungging di bibirnya serta hatinya selalu syukur dan gembira.

Ini bukan kisah reka-reka, ini kisah nyata. Bukan juga copas dari mana-mana, mas Adi mengajarkan bahwa hidup tak selalu berada dalam situasi yang kita inginkan. Tuhan Maha Berkehendak, tugas kita hanya berjuang sambil tersenyum ikhlas dan hati riang gembira. Masalah bisa besar, tapi Tuhan yang membantu menyelesaikannya jelas lebih besar.

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG