Posturnya yang gempal tak mampu menyembunyikan pembawaannya
yang jenaka. Umurnya baru 36 tahun, tapi
karena kesuksesannya membangun tim penjualan dari nol, hari itu dia berdiri di
depan kami semua, para pemilik agensi sebuah perusahaan Asuransi Joint Venture terbesar di Asia. Namanya Wi Jien.
Saya, beserta tiga ratusan “pengusaha asuransi” ini diundang
untuk mengikuti sebuah Seminar bertajuk “Bridge to Success” yang diadakan di
Pulau Penang-Malaysia 10-12 Januari 2015 lalu.
Pulau Penang sendiri adalah bagian dari kesultanan Kedah, yang bisa
ditempuh dengan lima jam perjalanan darat dari Kuala Lumpur. Jangan, jangan bayangkan lima jam perjalanan
darat dari Bogor ke Jakarta saat waktu berangkat atau pulang kantor. Perjalanan lima jam darat dari Penang ke
Kuala Lumpur, mirip-mirip perjalanan dari Bogor ke Cirebon via tol Cipali. Lumayan.
Wi Jien berkantor di
sebuah kantor megah dekat kawasan Georgetown, Penang. Kawasan Georgetown adalah “kota lama” yang
saat ini merupakan “World Heritage City” menurut UNESCO. Sejarah Georgetown sebagai kota sudah
berlangsung sejak ratusan lalu, tepatnya 11 Agustus 1786, saat pertama kalinya
Sir Francis Light – panglima perang Inggris- mengibarkan bendera Union Jack di tanah ini. Ini adalah bagian dari kompensasi pada Inggris atas jasa perlindungan pada
kesultanan Kedah dari ancaman serangan oleh kerajaan Siam (Thailand) dan Burma. Dan dinamakan Georgetown karena saat itu yang
bertahta di Inggris adalah Raja George ke III.
Di Georgetown berdiri aneka rupa
bangunan peninggalan jaman lampau, mural-mural cantik di tembok yang menarik
untuk dilihat serta dijadikan latar belakang selfie.
Wi Jien juga mengaku, badannya tambun karena makanan di
Penang terkenal enak. Ya, ternyata
Penang memang dinobatkan sebagai salah satu kota dengan “atraksi” kuliner
terbaik di dunia. Aneka rupa makanan
dari berbagai latar belakang : Hokkien, India hingga Melayu tersedia 24 jam dan ... semua enak !. Sambil terkekeh, Wi Jien –di atas panggung- menyampaikan itu dengan jujur di depan kami
semua.
Oya, bila anda bayangkan seluruh Pulau Penang adalah pulau
terbelakang dengan bangunan-bangunan kuno saja, anda keliru. Kawasan Pulau Tikus, Pesiaran Gurney adalah
landmark yang berbeda bumi-langit dengan kawasan Georgetown yang “old
fashion”. Puluhan kondominium dan dua
mall terbesar se-Penang berdiri di sini.
Konon, para pemilik kondominium mewah ini adalah orang-orang
Indonesia. Kali ini, bangga rasanya jadi
orang Indonesia.
Lalu Wi Jien lancar bercerita, tetap dengan gayanya yang
jenaka. Dia memulai bisnis dengan cara
yang sangat sederhana. Dia melihat
persaingan bisnis asuransi di Penang sudah sangat ketat. Dengan penduduk yang hanya 1.7 juta jiwa,
pasar rasanya sempit. Maka dia
memutuskan membangun bisnisnya di Ibu Kota Malaysia : Kuala Lumpur. Dia mulai membangun tim dengan merekrut
adiknya, serta dua orang teman adiknya yang tinggal di Kuala Lumpur. “Pertama kali memulai bisnis, saya tak
memiliki kantor yang cukup representatif.
Sedangkan saya harus meyakinkan pada tim yang saya bentuk serta calon
klien bahwa saya cukup bonafid untuk bisa mereka percaya,”katanya sambil
tersenyum.
Tapi benar kata orang-orang tua : orang sukses selalu
menemukan solusi, orang gagal hanya akan selalu menemukan alasan dan kesalahan
orang.
Wi Jien memutar otak, dan dia menemukan solusi jitu atas
masalahnya. “Saat itu, saya terpikir
untuk memulai berkantor di sebuah kantor mewah, dengan AC, sofa, wi-fi plus
sajian kopi bintang lima cukup dengan mengeluarkan 13 MYR (atau Rp 52 ribuan) per
hari. Saya meeting dengan team di situ,
bertemu klien, melakukan presentasi dan penjualan disitu pula. Dan kantor seperti itu juga ada di
Indonesia”, katanya sambil tersenyum penuh teka-teki. “Tempat itu adalah Starbucks,”jawabnya
sendiri, saat peserta seminar mulai terlihat kebingungan. Pengakuan jujurnya ini disambut geer oleh
peserta Seminar. Di Starbucks Wi Jien hanya memesan satu gelas
cappucino ukuran grande (sedang), duduk di sofa yang nyaman, memimpin rapat tim
penjualan serta menemui klien-kliennya.
Tidak pakai gengsi.
“Setiap Senin, saya menyetir mobil 10 jam bolak-balik
Penang-Kuala Lumpur untuk “ngantor”. Bila
ada presentasi produk baru, kadang-kadang saya baru meninggalkan “kantor” pukul
satu dinihari, dan langsung menyetir kembali ke Penang. Itu saya lakukan terus-menerus selama empat
tahun, hingga kini saya memiliki kantor sendiri di Kuala Lumpur,”ucapnya dengan
nada berbinar bangga, terutama saat kami memberikan tepuk tangan. “Kini saya
memiliki 20 orang anggota tim penjualan, dengan omzet mendekati 18 juta MYR
(atau Rp 54 Milyar) rupiah tahun 2015 lalu.
Kadang, barista di Starbucks Kota Kemuning masih sering menelpon saya,
bertukar kabar. Mungkin mereka rindu
pada saya,”kenangnya sambil tersenyum jenaka.
Berdiri di daerah Pesiaran Gurney, Penang |
Kisah Wi Jien bagaikan menampar pipi saya dua kali, dengan
keras. Selama ini saya, atau saya lihat
beberapa anak muda sebaya Wi Jien –di tempat asal saya- merasa sudah bekerja dengan sangat keras. Omzet
Rp 100-200 juta rupiah setahun sudah merasa harus dirayakan dengan
meriah. Dirayakan dengan berbagai macam
alasan untuk leyeh-leyeh.
Penang dan Kuala Lumpur penduduknya tak sampai empat juta
jiwa, tak sampai sepertiga penduduk Jabotabek.
Tapi lihatlah, omzet Wi Jien jauh melampaui omzet kami, bahkan boleh
dibilang omzet kami tak sampai sepertiga omzetnya. Kami terlalu gampang puas, terlalu gampang
menyerah. Manja, tidak tangguh. Jangankan menyetir mobil 10 jam bolak-balik
yang dijalani dengan tekun selama 4 tahun,
kena hujan sedikit saja sudah masuk angin, minta istirahat. Wie Jien menampar dengan keras para “pemalas”
seperti saya.
Banyak anak-anak muda yang kehilangan kreativitasnya ketika
ketemu sedikit saja hambatan. Wi Jien
justru keluar dengan solusi hebat.
Solusi berkantor di Starbucks adalah jalan keluar yang hebat, di tengah
pemikiran “katro” para anak muda jaman sekarang yang menganggap Starbucks
adalah (sekedar) tempat hang out, buang duit dan bermewah-mewah. Iya, katro.
Wi Jien justru melihat dari sudut pandang yang sangat kreatif, dia
bangun bisnisnya dengan cara yang kreatif.
Di atas panggung, suara Wi Jien masih nyaring
terdengar. Tetap ceria, dan jenaka. Dia seperti Pulau Penang, yang menolak
menjadi biasa-biasa saja. Pulau Kecil
ini memiliki Jembatan terpanjang di Asia Tenggara, tak hanya satu tapi
dua. Dia mengingatkan bahwa menjadi
besar adalah pilihan, bukan nasib yang sudah tertoreh di tangan. Tinggal kita mau memperjuangkannya atau
tidak.
Namun, sayangnya, di negeri saya, yang hanya sepelemparan
batu dari Penang, terlalu mudah puas, manja serta tak sabar menikmati proses
seolah menjadi budaya. Mentang-mentang
tongkat dan batu jadi taman. Seperti Kata
Koes Plus. Tamparan Wi Jien, masih
terasa hingga sekarang.
** Artikel ini ditulis dan untuk dimuat di majalah "Quantum Health" Edisi Februari 2016.
Comments
Post a Comment