Skip to main content

Cak Durasim dan Kisahnya



Ini adalah warung tenda favorit saya.  Racikan bebek gorengnya yang kriuk, sambelnya yang pas membuat kami balik dan balik lagi ke sana. Asli, rasanya kelas bintang lima.  Cak Durasim, begitu dia menyebut namanya-asli Lamongan, adalah pemilik warung tenda yang buka tiap malam di halaman ruko depan  kompleks rumah kami.  Dari ceritanya, selain disitu dia memiliki dua cabang lain di Bogor.  Anak buahnya kini ada 14 orang.  Dengan punya dengar, kabarnya total omzet tiga cabangnya mencapai 8-12 juta per malam.    Tak heran, di usianya yang genap 40 tahun Cak Durasim sudah naik haji dan –kabarnya- memiliki rumah megah di kampungnya.

Tapi bukan cerita soal bisnis Cak Durasim yang ingin saya bagikan.  

Enam bulan lalu -seperti biasa- sambil menyiapkan bebek goreng pesanan kami, Cak Durasim bercerita.  Waktu itu musim hujan, dan dia harus turun langsung di warung tendanya karena beberapa anak buahnya sedang sakit.  Maklum, mereka bekerja dari jam 5 sore hingga 11 malam.  Udara dingin, kadang ditambah hujan membuat anak buahnya mudah terserang sakit.  Mulai dari sekedar flu, meriang, batuk hingga gejala Tipus.

“Bukan sekedar keteteran menangangi pekerjaan, saya juga keteteran soal BIAYA pengobatan untuk karyawan saya yang sakit,” keluhnya sore itu.  Lanjutnya,”Walau sekedar berobat jalan, tapi lumayan juga biayanya.  Belum lagi kalau ada yang kecelakaan saat naik motor, atau luka bakar pas menggoreng : pasti saya harus mengeluarkan biaya ekstra yang tak terduga besarnya.  Tahun lalu, ada anak buah saya meninggal karena kecelakaan motor, saya habis-habisan untuk mengurus keluarganya karena mereka harus tetap hidup”.  Lalu, saya bertanya,”Memangnya nggak punya  asuransi kesehatan?”.

“Wah, mana mampu mereka beli asuransi bu.  Sayapun pasti berat kalau harus membelikan asuransi kesehatan untuk mereka.  Kan asuransi kesehatan mahal,” sergahnya.  Dengan tersenyum, saya pun berkata,”Siapa bilang asuransi kesehatan itu mahal, Cak?”.
Cak Durasim terlihat berubah roman mukanya, dan mulai menyimak apa yang saya sampaikan.  Di perusahaan tempat saya bekerja, ada produk Asuransi Kesehatan Kumpulan khusus untuk usaha kecil yang karyawannya mulai dari 5 orang.  Dan usaha milik Cak Durasim adalah contoh sederhananya, usaha warung, di pinggir jalan yang bahkan tak memiliki dokumen legalitas usaha.

Warung pecel lele
Asuransi Kesehatan Kumpulan ini memberikan jaminan biaya rawat jalan, rawat inap, penggantian biaya perawatan akibat kecelakaan –tanpa membatas itu kecelakaan kerja atau bukan- santunan meninggal dunia dan santunan meninggal dunia akibat kecelakaan.  Artinya, secara bujet bulanan pengeluaran cak Durasim sudah terencana dan tidak perlu pusing saat ada kejadian yang menimpa karyawannya.  Pusing karena mengeluarkan biaya tak terduga dan –pasti- besar.

Cak Durasim terlihat sumringah, saya pun makin semangat menerangkan.  Pembayaran iurannya tak mahal, hanya mulai Rp 200.000,- per karyawan per bulan untuk semua jaminan itu.  Rawat Inap, Rawat jalan, Santunan kematian dan Santunan kematian bila meninggal karena kecelakaan.  Bahkan bila mau, keluargapun bisa ikut dijamin walau tentu ada biaya tambahan.  Namun, tetap saja biaya itu tak besar.
Nanti, bila usaha Cak Durasim makin membesar seiring waktu, perusahaan saya juga siap menyediakan Layanan Paket Asuransi Kesehatan Kumpulan yang sifatnya “sesuai permintaan” atau “customized” disesuaikan dengan kondisi perusahaan.  Jadi sangat fleksibel.

Mendengar segala penjelasan saya dan setelah bertanya sana-sini, dua hari kemudian cak Durasim memutuskan mengambil Jaminan Asuransi Kesehatan untuk karyawannya.  Maka bila cak Durasim, tukang bebek goreng langganan saya, saja sadar : mengapa Anda Belum.

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG