Skip to main content

PAK MARDI TUKANG BAKSO

Beliau acap lewat depan rumah saya, dengan dagangannya yang menggoda hidung. Bakso Malang pak Mardi. Walau dia asli Juwiring Klaten, yang jaraknya hampir 350 km dari Malang, tapi rasa bakso malangnya -menurut saya- bintang lima, "Ngalam bingits".
Pak Mardi asli Indonesia. Ketika harga bensin dan gas naik, dia tak mengeluh atau menyerah. Saat harga daging sapi menggila, dia tak ikut menggila. Ketika berdagang dengan gerobak kehilangan daya jelajahnya, dia bersiasat untuk bertahan, menjual gerobak dan menggantinya dengan rombong yang dipasang di motor yang dibelinya dengan cara mencicil.

Dia "menyerap" segala masalah, dan mengembalikan dengan senyum. Senyum optimis orang Indonesia.

Pak Mardi punya dua orang anak, seusia anak saya. Yang pertama SMA, yang kedua SMP, sejak lama saya curiga usia pak mardi tak berselilish jauh dengan saya, walau penampilan saya kelihatan jauh lebih muda *kibas rambut, sisiran*.
Saat anaknya pertama sakit tipus, dan membawanya ke rumah sakit negeri di kota saya, petugas rumah sakit hanya bertanya : mau bayar pakai Asuransi Kesehatan /BPJS atau bayar tunai dengan DP senilai omzetnya berjualan seminggu . Pak Mardi memilih mundur, mengobati anaknya ala kadarnya dan -untungnya- sembuh.

Pak Mardi mencari tahu soal asuransi kesehatan dan BPJS, dan ikutlah dia mengantri panjang mendapatkannya. Pak Mardi, tersenyum saat berhasil mendapatkan kartu keanggotaan BPJS. Dia menikmati level paling rendah pelayanan publik yang disediakan pemerintahnya. Dengan senyum optimis orang Indonesia.

Sementara itu, para konsumen pak Mardi sibuk saling hina. Pak Prabowo yang jelas sudah kaya raya, dan pak Jokowi yang sudah jelas terpilih jadi presiden tiap hari mereka caci-maki. Bukan kritik. Seolah mereka sudah lebih dari orang yang mereka hina, Seolah yang menghina sudah memberikan banyak kontribusi untuk negerinya. Padahal , mungkin, sehari-hari mereka masih jadi kuli kutukupret yang takut di akhir bulan tak dibayar gajinya.

Saya kok jadi setuju kata pak Anies Baswedan semalam, bahwa persoalan besar kita bukanlah menempatkan diri sebagai pemenang di percaturan ekonomi dan poltik di Asia Tenggara atau dunia. Persoalan terbesar kita justru menempatkan Indonesia dalam Indonesia.
Di negeri saya, Indonesia, banyak pak Mardi-pak Mardi lainnya. Yang dengan kecerdasannya bertahan hidup, merdeka dan bermanfaat bagi orang lain : tanpa mengeluh, mencaci maki atau merasa lebih baik dari orang Indonesia lainnya.

Pak Mardi bisa, kenapa kita tak bisa ?

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG