Suara tangis itu dari dalam ruang tamu itu nyaring terdengar
hingga halaman, tempat kami berteduh dari sengatan panas pagi itu. Jelaslah, itu suara tangis bu Amri yang tak
menyangka pak amri- suaminya- meninggal secepat itu. Suara ibu-ibu pengajian yang melantunkan
makin membuat suasana pagi itu cukup menyayat.
Pak Amri, belum lagi beranjak 50 tahun usianya. Saya bertemu terakhir dengannya tiga hari
lalu di tempat cucian mobil langganan, lokasi dia rajin mengelus BMW baru
kesayangannya. Dia pengusaha sukses,
memasok sabun dan perlengkapan laundry ke distributornya di seluruh
Indonesia. Rumahnya paling megah di
kompleks saya, dan salah satu indikator kesuksesannya adalah sesak gerasinya
terisi tiga mobil dan dua buah motor gede.
Keluarganyapun kelihatan bahagia.
Kabar duka menyeruak kemarin malam. Pak Amri koma selepas pingsan saat bermain
futsal. Teman-teman futsalnya tidak
melihat ada yang ganjil dengan pak Amri malam itu, semua kelihatan oke-oke
saja. Dua jam setelah masuk ruang gawat
darurat, pak Amri diberitakan meninggal dunia.
Kabar duka yang tak terduga.
Bu Amri ibu rumah tangga yang tak bekerja, dan tak pernah
ikut mengelola usaha suaminya. Duka ini
adalah bencana keluarga untuk mereka. Bu
Amri tak mengerti bagaimana mengelola usaha, dan tak cakap mengetahui ketika
tiba-tiba para pemasok menagih hutang-hutang almarhum suaminya.
Bu Amri dan tiga orang anaknya, kehilangan sumber mata
pencaharian keluarganya. Dia hanya
berfikir akan menjual beberapa asset yang dimilikinya untuk bertahan menghidupi
anak-anaknya. Benar-benar sebuah bencana
keuangan.
MENGHINDARI BENCANA
KEUANGAN
Adakah mungkin cerita saya soal Bu Amri, yang kehilangan
suaminya –karena meninggal terlalu cepat- serta berimbas pada “bencana
keuangan” dimana dia harus merelakan asset-assetnya hilang untuk membayar
hutang dan bertahan hidup juga akan terjadi pada kita ? Jawabannya Mungkin Sekali !.

Walau tertimpa kemalangan, bu Amri bisa dibiliang beruntung,
karena sebelum meninggal, Pak Amri tak sempat dirawat di Rumah Sakit yang
menghabiskan biaya puluhan hingga jutaan rupiah. Tapi apapun kehilangan sumber penghasilan
keluarga, hingga kehilangan asset, harta yang sudah dikumpulkan bertahun-tahun
tentu sangat menyesakkan dada. Sakit itu
disini.
Maka, hari-hari ini para Financial Planner menganjurkan : milikilah produk Asuransi, sebelum investasi. Ya, karena pada dasarnya Asuransi adalah salah satu alat untuk menghindarkan diri dari bencana atau kiamat keuangan.
Maka, hari-hari ini para Financial Planner menganjurkan : milikilah produk Asuransi, sebelum investasi. Ya, karena pada dasarnya Asuransi adalah salah satu alat untuk menghindarkan diri dari bencana atau kiamat keuangan.
Pertanyaannya, apa hal pertama yang harus anda ketahui saat
anda akan mengambil sebuah produk Asuransi ?
Hal pertama adalah mengetahui Nilai Ekonomis anda.
MENGHITUNG NILAI
EKONOMIS
Ketika seorang Konsultan Keuangan keluarga atau agen
asuransi menemui anda dan menawarkan sebuah produk asuransi, pertama yang harus
anda lihat adalah : Berapa Besarnya UANG PERTANGGUNGAN yang ditawarkan. Kebanyakan dari kita justru sibuk melihat
berapa PREMI yang harus dibayar, dan ini adalah kesalahan terbesar saat membeli
asuransi. UANG PERTANGGUNGAN adalah
cerminan Nilai Ekonomis kita sebagai pemegang polis asuransi, berupa warisan
untuk para ahli waris kita.
Menghitung nilai ekonomis dimulai dari berapa rupiah per
bulan anda memberikan “uang nafkah” kepada keluarga untuk menutupi semua
kebutuhan keluarga : dari mulai belanja, biaya bulanan anak-anak sekolah hingga
cicilan rumah dan mobil. Katakan Total
yang anda setor ke “meteri keuangan” di rumah Rp 10 juta per bulan.
Bila kita, sebagai pencari nafkah “tidak ada”, maka uang
setoran ke “menteri keuangan keluarga” di rumah kan tetap harus ada. Sehingga, diperlukan semacam dana abadi, yang
–katakan- bila didepositokan harus memberikan bunga deposito Rp 10
juta/bulan. Jelas kan? Jadi walau pencari nafkahnya sudah tiada,
nafkahnya tetap ada.
Bila bunga deposito tadi besarnya Rp 10 juta/bulan, atau
total Rp 120juta per tahun, dengan asumsi bunga depositi 5 % per tahun, maka
uang “dana abadi” yang harus disimpan dalam deposito adalah sebesar Rp 2,4
Milyar.
Nilai ekonomis seorang pencari nafkah yang memberik nafkah
kepada keluarganya Rp 10juta/bulan
adalah Rp 2.4 M.
Pertanyaanya apakah kita mampu menabung hingga senilai Rp
2.4 Milyar? Bila tidak, maka suransinya
diri anda dengan UANG PERTANGGUNGAN Rp 2.4 Milyar. Artinya, bila anda –para pencari nafkah
meninggal – asuransi akan membayar Rp 2.4 Milyar pada ahil waris sebagai dana
warisan yang bisa didepositokan seperti konsep di atas.
Sehingga bila anda memilih “nyicil” mobil Rp 3 juta per bulan, sedangkan anda membayar premi asuransi Rp 1 juta per bulan : maka sebenarnya anda sedang menjerumuskan keluarga anda dalam kubangan hutang, atau kesimpulannya anda tak sayang pada keluarga anda.
Namun, tetap juga diperlukan juga kecermatan tingkat tinggi
untuk memilih produk Asuransi yang tepat.
Itu pentingnya anda berkonsultasi dengan Konsultan Keuangan keluarga
yang tepat serta terpercaya.
Selamat menghitung Nilai
Ekonomis anda, putuskan mengambil program Asuransi yang tepat dan semoga bencana keuangan bu Amri tak
menimpa anda sekeluarga. Amin.
Comments
Post a Comment