Skip to main content

STRATEGI DANA PENSIUN PAKAI ASURANSI? OH, YA?

Minggu lalu, sehari sebelum berangkat mengajar di Lampung, saya menemani salah satu team BHR melakukan presentasi untuk sebuah perusahaan Fintech rintisan baru di daerah Pasar Minggu.
Kami diundang melakukan presentasi terkait rencana mereka menyiapkan Program Dana Pensiun untuk Staf dan manajemen inti perusahaan. Tadinya saya pikir staf dan manajemen intinya terdiri dari banyak orang, sehingga saya sudah siapkan presentasi “Dana Pensiun Lembaga Keuangan” atau DPLK.

“Kami hanya ber-duabelas, pak”, kata mas Fulan -sebut saja namanya begitu - manajer Finance dan Accounting mereka. Dalam pertemuan itu selain mas Fulan hadir empat orang anggota manajemen perusahaan itu.

Ya, karena perusahaan ini padat teknologi, jumlah orang yang bekerja tak lagi banyak. Sehingga nampaknya DPLK kumpulan kurang cocok. Maka kami berganti strategi, kami memakai pendekatan Dana Pensiun Individu.

“Mas, Fulan dan teman-teman semua Sudah tahu cara menghitung Kebutuhan Dana Pensiun ?”, Tanya saya yang dijawab gelengan kepala semua orang yang ada dalam ruangan rapat.

“Oke begini caranya”,kata saya sambil menuju papan tulis. Seperti biasa saya mulai menggambar.
Kita bagi ada dua periode antara usia kita saat ini, usia pensiun dan usia harapan hidup kita.
Dalam gambar, usia 35 adalah usia kita saat ini, usia 55 adalah usia kita pensiun dan usia 75 adalah usia harapan hidup kita.

Antara usia 35-55 tahun kita bekerja, mendapat penghasilan dan dipakai untuk konsumsi serta sebagian dikumpulkan, ditabung, diinvestasikan untuk menghasilkan Dana sejumlah B. Periode ini disebut PERIODE AKUMULASI. Asumsikan pada periode akumulasi ini, kita membutuhkan biaya hidup/konsumsi Rp 120 juta/tahun.

Antara usia 55-75 tahun kita pensiun, tak lagi bekerja, tak ada penghasilan tapi pengeluaran jalan terus. Maka kita hidup dari dana B yang kita tarik setiap tahun (yang kemudian dibagi lagi per bulan). Periode ini disebut PERIODE KONSUMSI.

Asumsikan pada periode ini pengeluaran kita 80% dari pengeluaran kita saat bekerja (karena tak lagi ada biaya transportasi, penampilan dll). Tapi ingat Rp 120 juta adalah nilai uang masa lalu, saat usia 55 Tahun, karena INFLASI (asumsi 4% p.a) , Rp 120 juta setara dengan Rp 260 juta. Karena kebutuhan hanya 80% nya, itu setara dengan Rp 208 juta per tahun.

“Pertanyaan Pertama, berapa dana B yang harus disiapkan atau diakumulasikan”,Tanya saya lagi pada peserta rapat. Semua masih terdiam. Maka saya lanjutkan.

Maka, berdasar hitungan, bila uang yang kumpulkan disimpan di instrumen investasi yang memberikan “return” 10% per tahun dan inflasi tetap 4% per tahun, maka jumlah TARGET DANA B haruslah sekitar Rp 2,4 Miliar.

Mas Fulan dan peserta mulai manggut-manggut.

“Pertanyaan kedua, berapa yang musti kita sisihkan tiap bulan untuk mencapai TARGET DANA B tadi?”, Lanjut saya. Peserta yang tadi manggut-manggut mulai terdiam lagi. Maka saya lanjutkan.
Tetap dengan asumsi seperti di atas, maka teman-teman harus menyisihkan “cicilan dana pensiun” sekitar Rp 3,1 juta per bulan. Bagaimana kalau menunda? Setiap tahun penundaan, maka “cicilan” akan naik sekitar 10% lebih mahal.

Kembali peserta mulai mengangguk-angguk. Mereka mulai mencorat-coet kertas di meja mereka, nampaknya mulai menghitung. Sampai kemudian suasana hening dipecahkan oleh pertanyaan satu orang di pojok ruangan, mas Fulin, Direktur Teknik.

“Pak Basri, lalu apa hubungannya dengan Asuransi ya pak?”, Tanyanya.

“Pertanyaan yang bagus banget”,jawab saya.

Para TAHAP KONSUMSI, Dana B tentu tidak kita konsumsi sendiri, namun dinikmati oleh semua anggota keluarga kita. Orang-orang yang kita cintai. Mereka bisa tetap hidup nyaman bila TARGET DANA B terealisasi dengan baik.

Bagaimana caranya supaya TARGET DANA B terealisasi dengan baik? Ya, selama TAHAP AKUMULASI kita bekerja keras (plus cerdas), disiplin menyisihkan dan harus PANJANG UMUR.
Tapi soal umur siapa yang tahu.

Nah, lihatlah Gambar 2. Itulah fungsi asuransi, dia menjadi JEMBATAN antara Realisasi Akumulasi Dana dan Targetnya. Ada Gap/Jarak bernama Risiko di sana. Maka jembatan itu yang akan menggenapkan bila saat tahap akumulasi, orang yang mencari penghasilan “jatuh tempo” sebelum target tercapai.

“Itu fungsi asuransi”,tutup saya.

Peserta mengerti, mereka mulai mengisi data. Doakan ini menjadi awal kerjasama yang baik bagi perusahaan ini dan team saya.

Jadi, asuransi bukan melulu soal sakit dan mati.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG