Skip to main content

KEMATIAN YANG PASTI DAN MEMILIH.



Saat itu hari Sabtu, Mei 2017 kami mendapat kepastian Ibu -yang sudah tiga bulan dirawat di sebuah Rumah Sakit di Jakarta karena Kanker Payudaranya - sudah bisa pulang ke Rumah.
Kami menyambut kabar yang disampaikan kakak tertua kami dengan sangat suka cita. Tapi terlihat Ayahlah yang paling bersuka cita mendengar kabar itu.

Ayah saya belumlah tergolong tua, dilahirkan tahun 1969, beliau masih bisa dibilang paruh baya. Ayah tak merokok, tak pernah begadang, tak aneh-aneh hidupnya. Hanya saja, karena pekerjaannya beliau selalu berangkat kerja saat subuh dan tiba di rumah saat adzan Sholat Isya selesai bergema.
Saya sendiri, Angga (nama samaran-red), anak ketiganya saat ini baru naik kelas 3 SMA. Dua kakak saya, satu kuliah, satu lagi belum genap setahun bekerja. Kami keluarga biasa saja.

Dan Hari Sabtu itu, saya di rumah bersama Bapak, menunggu Ibu yang dijemput Paman dan kakak dari Rumah Sakit menuju ke rumah. Ayah minta rumah dirapikan. "Supaya ibumu senang", Katanya.
Rona tak sabar memancar dari wajah Ayah. Terakhir dia minta saya menghubungi kakak "Tanya posisinya sudah di mana",Perintah Ayah. "Di Dekat pintu tol miring Cimanggis", Kata Kakak dari seberang sana.

Panas siang hari sudah mulai reda, waktu sholat Ashar tiba. "Ayah mandi dulu, tolong siapin kopi di meja ya. Ayah mau nunggu sambil tidur-tiduran, capek abis beres-beres rumah", Kata Ayah sambil bergegas menuju kamar mandi. Saya menyiapkan kopi, meletakkan di atas meja dan mendengar jeburan air diciduk dari bak mandi kamar Ayah. Saya keluar kamar Ayah, dan menutupnya kembali.

Menjelang pukul lima, mobil paman kelihatan berhenti di halaman rumah. Keluarlah kakak menggandeng Ibu yang sudah mulai bersinar wajahnya. Kangen, kami semua memeluk Ibu. Ibupun masuk ke rumah dengan mantap dan gembira. ", Wah bersih sekali rumah. Hebat kalian", Kata ibu sambil duduk dan menanyakan Ayah yang belum keluar sejak tadi dari kamar.

Saya bergegas mengetuk pintu kamar, sekali, dua kali, tiga kali...dan memutar handel pintu karena dari dalam kamar belum ada jawaban. Saya lihat Ayah berbaring, rapi habis mandi, berkaos dan sarung. Tidur nyenyak sekali nampaknya. Saya goyangkan badannya sekali dua kali untuk membangunkan ",Pak, Ibu sudah sampai rumah".

Tapi Ayah tak menjawab, badannya dingin tak seperti biasa. Saya merasakan firasat tak enak. Saya panggil paman dan kakak ke kamar Ayah. Paman memeriksa nadi, meletakkan jari telunjuknya bersilang di depan hidung Ayah seraya berkata ",Panggil pak Andi (dokter, tetangga) Ga",kata Paman panik. Saya lari, nyaris menabrak meja menunju rumah Pak Andi.

Singkatnya, pak Andi datang dan menyatakan ayah sudah tiada. Tanpa sempat bertemu Ibu yang -mungkin- sudah sangat dirindukannya, dibelanya dengan segenap harta agar sembuh dari kanker yang dideritanya. Ayah tiada, tak sempat menyicip kopi yang sempat saya siapkan di atas meja.
-----------------------
** Disarikan dari Kisah Nyata, Kronologi yang ditulis Angga untuk melengkapi klaim Asuransi Jiwa Ayahnya. Saya tak secara sengaja membacanya di Tray Surat Masuk, meja sekretaris saya.
Tuhan rupanya membuatnya begitu : agar saya tak lupa. Bahwa kematian itu pasti datang, tak mengenal urutan akal serta hitungan manusia.
Tugas kita hanya mempersiapkan amal untuk kita bawa, dan harta untuk yang kita tinggalkan supaya mereka tetap sejahtera

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG